Pendahuluan
Interaksi
obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain
(interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa
kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau
lebih obat digunakan bersama-sama.
Interaksi obat dan efek
samping obat perlu mendapat perhatian. Sebuah studi di Amerika
menunjukkan bahwa setiap tahun hampir 100.000 orang harus masuk rumah
sakit atau harus tinggal di rumah sakit lebih lama dari pada seharusnya,
bahkan hingga terjadi kasus kematian karena interaksi dan/atau efek
samping obat. Pasien yang dirawat di rumah sakit sering mendapat terapi
dengan polifarmasi (6-10 macam obat) karena sebagai subjek untuk lebih
dari satu dokter, sehingga sangat mungkin terjadi interaksi obat
terutama yang dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia.
Interaksi
obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas
dan/atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama
bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi
yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat
sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa
digunakan bersama-sama.
Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena :
a. dokumentasinya masih sangat kurang
b.
seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan
mekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini mengakibatkan
interaksi obat berupa peningkatan toksisitas dianggap sebagai reaksi
idiosinkrasi terhadap salah satu obat, sedangkan interaksi berupa
penurunakn efektivitas dianggap diakibatkan bertambah parahnya penyakit
pasien
c. kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh
variasi individual, di mana populasi tertentu lebih peka misalnya
pasien geriatric atau berpenyakit parah, dan bisa juga karena perbedaan
kapasitas metabolisme antar individu. Selain itu faktor penyakit
tertentu terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah dan
faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian
kronik).
Mekanisme Interaksi Obat
Interaksi
diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses farmakokinetik
maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai dengan
perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi,
waktu paro dsb. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan laju
atau tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi
farmakodinamik biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk
mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya.
Interaksi farmakodinamik meliputi aditif (efek obat A =1, efek obat B =
1, efek kombinasi keduanya = 2), potensiasi (efek A = 0, efek B = 1,
efek kombinasi A+B = 2), sinergisme (efek A = 1, efek B = 1, efek
kombinasi A+B = 3) dan antagonisme (efek A = 1, efek B = 1, efek
kombinasi A+B = 0). Mekanisme yang terlibat dalam interaksi
farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan atau reseptor.
Interaksi farmakokinetik
1. Absorpsi
Obat-obat
yang digunakan secara oral bisaanya diserap dari saluran cerna ke dalam
sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat
melewati saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport
pasif maupun aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi secara pasif.
Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah dengan kadar tinggi ke
daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif terjadi
perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion dan
molekul yang larut air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi obat
secara transport aktif lebih cepat dari pada secara tansport pasif.
Obat dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi melewati
membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut lemak dan
tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi fisiologi normal absorpsinya
agak tertunda tetapi tingkat absorpsinya biasanya sempurna.
Bila
kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih
mudah terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila
dibutuhkan kadar puncak plasma yang cepat untuk mendapatkan efek.
Mekanisme interaksi akibat gangguan absorpsi antara lain :
a. Interaksi langsung
Interaksi
secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum
absorpsi dapat mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat
dihindarkan atau sangat dikuangi bila obat yang berinteraksi diberikan
dalam jangka waktu minimal 2 jam.
b. perubahan pH saluran cerna
Cairan
saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat adanya antasid, akan
meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam
saluran cerna, misalnya aspirin. Dengan demikian dipercepatnya disolusi
aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya. Akan tetapi, suasana
alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat yang
bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna,
sehingga mengurangi absorpsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh
antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam sehingga
meningkatkan bioavailabilitasnya.
Ketokonazol yang diminum per
oral membutuhkan medium asam untuk melarutkan sejumlah yang dibutuhkan
sehingga tidak memungkinkan diberikan bersama antasida, obat
antikolinergik, penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton (misalnya
omeprazol). Jika memang dibutuhkan, sebaiknya abat-obat ini diberikan
sedikitnya 2 jam setelah pemberian ketokonazol.
c. pembentukan senyawa kompleks tak larut atau khelat, dan adsorsi
Interaksi
antara antibiotik golongan fluorokinolon (siprofloksasin, enoksasin,
levofloksasin, lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan
sparfloksasin) dan ion-ion divalent dan trivalent (misalnya ion Ca2+ ,
Mg2+ dan Al3+ dari antasida dan obat lain) dapat menyebabkan penurunan
yang signifikan dari absorpsi saluran cerna, bioavailabilitas dan efek
terapetik, karena terbentuknya senyawa kompleks. Interaksi ini juga
sangat menurunkan aktivitas antibiotik fluorokuinolon. Efek interaksi
ini dapat secara signifikan dikurangi dengan memberikan antasida
beberapa jam sebelum atau setelah pemberian fluorokuinolon. Jika
antasida benar-benar dibutuhkan, penyesuaian terapi, misalnya
penggantian dengan obat-pbat antagonis reseptor H2 atau inhibitor pompa
proton dapat dilakukan.
Beberapa obat antidiare (yang mengandung
atapulgit) menjerap obat-obat lain, sehingga menurunkan absorpsi.
Walaupun belum ada riset ilmiah, sebaiknya interval pemakaian obat ini
dengan obat lain selama mungkin.
d. obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu (BAS : bile acid sequestrant)
Kolestiramin
dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan mencegah
reabsorpsinya, akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat lain
terutama yang bersifat asam (misalnya warfarin). Sebaiknya interval
pemakaian kolestiramin atau kolestipol dengan obat lain selama mungkin
(minimal 4 jam).
e. perubahan fungsi saluran cerna (percepatan
atau lambatnya pengosongan lambung, perubahan vaksularitas atau
permeabilitas mukosa saluran cerna, atau kerusakan mukosa dinding usus).
.1. Distribusi
Setelah
obat diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ke tempat kerja
di mana obat akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuh dan atau
reseptor. Selama berada di aliran darah, obat dapat terikat pada
berbagai komponen darah terutama protein albumin. Obat-obat larut lemak
mempunyai afinitas yang tinggi pada jaringan adiposa, sehingga obat-obat
dapat tersimpan di jaringan adiposa ini. Rendahnya aliran darah ke
jaringan lemak mengakibatkan jaringan ini menjadi depot untuk obat-obat
larut lemak. Hal ini memperpanjang efek obat. Obat-obat yang sangat
larut lemak misalnya golongan fenotiazin, benzodiazepin dan barbiturat.
Sejumlah
obat yang bersifat asam mempunyai afinitas terhadap protein darah
terutama albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyai afinitas untuk
berikatan dengan asam-α-glikoprotein. Ikatan protein plasma (PPB :
plasma protein binding) dinyatakan sebagai persen yang menunjukkan
persen obat yang terikat. Obat yang terikat albumin secara farmakologi
tidak aktif, sedangkan obat yang tidak terikat, biasa disebut fraksi
bebas, aktif secara farmakologi. Bila dua atau lebih obat yang sangat
terikat protein digunakan bersama-sasam, terjadi kompetisi pengikatan
pada tempat yang sama, yang mengakibatkan terjadi penggeseran salah satu
obat dari ikatan dengan protein, dan akhirnya terjadi peninggatan kadar
obat bebas dalam darah. Bila satu obat tergeser dari ikatannya dengan
protein oleh obat lain, akan terjadi peningkatan kadar obat bebas yang
terdistribusi melewati berbagai jaringan. Pada pasien dengan
hipoalbuminemia kadar obat bebas atau bentuk aktif akan lebih tinggi.
Asam
valproat dilaporkan menggeser fenitoin dari ikatannya dengan protein
dan juga menghambat metabolisme fenitoin. Jika pasien mengkonsumsi kedua
obat ini, kadar fenitoin tak terikat akan meningkat secara signifikan,
menyebabkan efek samping yang lebih besar. Sebaliknya, fenitoin dapat
menurunkan kadar plasma asam valproat. Terapi kombinasi kedua obat ini
harus dimonitor dengan ketat serta dilakukan penyesuaian dosis.
Obat-obat yang cenderung berinteraksi pada proses distribusi adalah obat-obat yang :
persen terikat protein tinggi ( lebih dari 90%)
terikat pada jaringan
mempunyai volume distribusi yang kecil
mempunyai rasio eksresi hepatic yang rendah
mempunyai rentang terapetik yang sempit
mempunyai onset aksi yang cepat
digunakan secara intravena.
Obat-obat
yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menggeser obat lain dari ikatan
dengan protein adalah asam salisilat, fenilbutazon, sulfonamid dan
anti-inflamasi nonsteroid.
.2. Metabolisme
Untuk
menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai reseptor,
berarti obat harus dapat melewati membran plasma. Untuk itu obat harus
larut lemak. Metabolisme dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak
menjadi senyawa larut air yang tidak aktif, yang nantinya akan
diekskresi terutama melalui ginjal. Obat dapat melewati dua fase
metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan II. Pada metabolisme fase I,
terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa, dsb. oleh enzim mikrosomal hati
yang berada di endothelium, menghasilkan metabolit obat yang lebih
larut dalam air. Pada metabolisme fase II, obat bereaksi dengan molekul
yang larut air (misalnya asam glukuronat, sulfat, dsb) menjadi metabolit
yang tidak atau kurang aktif, yang larut dalam air. Suatu senyawa dapat
melewati satu atau kedua fasemetabolisme di atas hingga tercapai bentuk
yang larut dalam air. Sebagian besar interaksi obat yang signifikan
secara klinis terjadi akibat metabolisme fase I dari pada fase II.
a. Peningkatan metabolisme
Beberapa
obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang terlibat dalam
metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital meningkatkan
metabolisme warfarin sehingga menurunkan aktivitas antikoagulannya. Pada
kasus ini dosis warfarin harus ditingkatkan, tapi setelah pemakaian
fenobarbital dihentikan dosis warfarin harus diturunkan untuk
menghindari potensi toksisitas. Sebagai alternative dapat digunakan
sedative selain barbiturate, misalnya golongan benzodiazepine.
Fenobarbital juga meningkatkan metabolisme obat-obat lain seperti
hormone steroid.
Barbiturat lain dan obat-obat seperti karbamazepin, fenitoin dan rifampisin juga menyebabkan induksi enzim.
Piridoksin
mempercepat dekarboksilasi levodopa menjadi metabolit aktifnya,
dopamine, dalam jaringan perifer. Tidak seperti levodopa, dopamine tidak
dapat melintasi sawar darah otak untuk memberikan efek antiparkinson.
Pemberian karbidopa (suatu penghambat dekarboksilasi) bersama dengan
levodopa, dapat mencegah gangguan aktivitas levodopa oleh piridoksin,
b. Penghambatan metabolisme
Suatu
obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengan dampak
memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang dipengaruhi. Sebagai
contoh, alopurinol mengurangi produksi asam urat melalui penghambatan
enzim ksantin oksidase, yang memetabolisme beberapa obat yang potensial
toksis seperti merkaptopurin dan azatioprin. Penghambatan ksantin
oksidase dapat secara bermakna meningkatkan efek obat-obat ini. Sehingga
jika dipakai bersama alopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin
harus dikurangi hingga 1/3 atau ¼ dosis biasanya.
Simetidin
menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapat meningkatkan aksi
obat-obat yang dimetabolisme melalui jalur ini (contohnya karbamazepin,
fenitoin, teofilin, warfarin dan sebagian besar benzodiazepine).
Simetidin tidak mempengaruhi aksi benzodiazein lorazepam, oksazepam dan
temazepam, yang mengalami konjugasi glukuronida. Ranitidin mempunyai
efek terhadap enzim oksidatif lebih rendah dari pada simetidin,
sedangkan famotidin dan nizatidin tidak mempengaruhi jalur metabolisme
oksidatif.
Eritromisin dilaporkan menghambat metabolisme hepatik
beberapa obat seperti karbamazepin dan teofilin sehingga meningkatkan
efeknya. Obat golongan fluorokuinolon seperti siprofloksasin juga
meningkatkan aktivitas teofilin, diduga melalui mekanisme yang sama.
3. Ekskresi
Kecuali
obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat
empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri renal,
mula-mula dikirim ke glomeruli tubulus, dimana molekul-molekul kecil
yang cukup melewati membran glomerular (air, garam dan beberapa obat
tertentu) disaring ke tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti
protein plasma dan sel darah ditahan. Aliran darah kemudian melewati
bagian lain dari tubulus ginjal dimana transport aktif yang dapat
memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel
tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi)
untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bis terjadi karena perubahan
ekskresi aktif tubuli ginjal, perubahan pH dan perubahan aliran darah
ginjal.
a. Perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal
b. perubahan pH urin
c. Perubahan aliran darah ginjal
Sumber :
Harkness Richard, diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan Mathilda B.Widianto. Interaksi obat. Bandung: Penerbit ITB, 1989