Jumat, 11 Juni 2010
Suppositoria
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dalam bentuk, yang diberikan melalui rectal,vaginal atau uretra (Anonim,1995 ). Bentuk dan ukurannya harus sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam lubang atau celah yang diinginkan tanpa meninggalkan kejanggalan begitu masuk, har us dapat bertahan untuk suatu waktu tertentu (Ansel,2005).
Penggolongan suppositoria berdasarkan tempat pemberiannya dibagi menjadi:
1. Suppositoria rectal : suppositoria rectal untuk dewasa berbentuk berbentuk lonjong pada satu atau kedua ujungnya dan biasanya berbobot lebih kurang
2 g ( anonim, 1995). Suppositoria untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari tangan. Biasanya suppositoria rektum panjangnya ± 32 mm (1,5 inchi), dan berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Bentuk suppositoria rektum antara lain bentuk peluru,torpedo atau jari-jari kecil, tergantung kepada bobot jenis bahan obat dan basis yang digunakan. Beratnya menurut USP sebesar 2 g untuk yang menggunakan basis oleum cacao ( Ansel,2005 ).
2. Suppositoria vaginal : umumnya berbentuk bulat atau bulat telur dan berbobot lebih kurang 5,0 g dibuat dari zat pembawa yang larut dalam air atau yang dapat bercampur dalam air seperti polietilen glikol atau gelatin tergliserinasi. Suppositoria ini biasa dibuat sebagai “pessarium” .
( Anonim,1995; Ansel, 2005).
3. Suppositoria uretra : suppositoria untuk saluran urine yang juga disebut “bougie”. Bentuknya ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan ke dalam saluran urine pria atau wanita. Suppositoria saluran urin pria berdiameter 3- 6 mm dengan panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan yang lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao maka beratnya ± 4 gram. Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran untuk pria, panjang ± 70 mm dan beratnya 2 gram, bila digunakan oleum cacao sebagai basisnya ( Ansel, 2005).
4. Suppositoria untuk hidung dan untuk telinga disebut juga “kerucut telinga”, keduanya berbentuk sama dengan suppositoria uretra hanya ukuran panjangnya lebih kecil, biasanya 32 mm. suppositoria telinga umumnya diolah dengan basis gelatin yang mengandung gliserin. Namun, suppositoria untuk obat hidung dan telinga jarang digunakan (Ansel, 2005).
Penggunaan suppositoria bertujuan :
1. Untuk tujuan lokal seperti pada pengobatan wasir atau hemoroid dan penyakit infeksi lainnya. Suppositoria untuk tujuan sistemik karena dapat diserap oleh membran mukosa dalam rektum.
2. Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat
3. Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati ( Syamsuni, 2005 )
Keuntungan penggunaan suppositoria antara lain:
1. Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung
2. Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan
3. Obat dapat masuk langsung saluran darah dan ber akibat obat dapat memberi efek lebih cepat daripada penggunaan obat per oral
4. Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak
5. Bentuknya seperti terpedo mengunt sadarungkan karena suppositoria akan tertarik masuk dengan sendirinya bila bagian yang besar masuk melalui otot penutup dubur (Anief, 2005; Syamsuni, 2005).
Kerugian penggunaan bentuk sediaan suppositoria antara lain:
1. Tidak menyenangkan penggunaan
2. Absorbsi obat sering tidak teratur dan sedikit diramalkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi obat per rektal:
1. Faktor fisiologis antara lain pelepasan uobat dari basis atau bahan dasar, difusi obat melalui mukosa, detoksifikasi atau metanolisme, distribusi di cairan jaringan dan terjadinya ikatan protein di dalam darah atau cairan jaringan.
2. Faktor fisika kimia obat dan basis antara lain : kelarutan obat, kadar obat dalam basis, ukuran partikel dan basis supositoria ( Syamsuni, 2005).
Bahan dasar yang digunakan untuk membuat suppositoria harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh. Bahan dasar yang biasa digunakan adalah lemak cokelat (oleum cacao), polietilenglikol (PEG), lemak tengkawang (oleum shorae) atau gelatin (Syamsuni, 2005). Sifat ideal bahan dasar/ basis yang digunakan antara lain:
1. Tidak mengiritasi
2. Mudah dibersihkan
3. Tidak meninggalkan bekas
4. Stabil
5. Tidak tergantung PH
6. Dapat bercampur dengan banyak obat
7. Secara terapi netral
8. Memiliki daya sebar yang baik/ mudah dioleskan
9. Memiliki kandungan mikrobakteri yang kecil (10 2 / g ) dan tidak ada enterobakteri pseudemonas aeruginosa dan s.aureus ( Sulaiman dan Kuswahyuning,2008 ).
Pembuatan suppositoria secara umum dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Bahan dasar yang digunakan harus meleleh pada suhu tubuh atau larut dalam cairan yang ada di rektum.
2. Obat harus larut dalam bahan dasar dan bila perlu dipanaskan. Bila sukar larut, obat harus diserbukkan terlebih dahulu sampai halus.
3. Setelah campurn obat dan bahan dasarnya meleleh atau mencair, campuran itu dituangkan ke dalam cetakan supositoria dan didinginkan. Cetakan ini dibuat dari besi yang dilapisi nikel dan logam lain; ada juga terbuat dari plastik (Syamsuni, 2005 ).
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh, 2000, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Anief, Moh, 2005, Farmasetika, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia Ed III, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Ed IV, Depkes RI, Jakarta
Ansel, 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta
Syamsuni, 2005, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Sulaiman, T. N. S dan Rina Kuswahyuning, 2008, Teknologi dan Formulasi Sediaan Semipadat, Laboratorium Teknologi Farmasi Bagian Farmasetika Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.
Label:
sediaan farmasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar