bobo' ah ===>>>

Photobucket

Selasa, 08 Maret 2011

Membangun Konsep Diri Positif Pada Anak-Anak

Pengertian Orangtua yang bagus

Kalau membaca kehidupan para tokoh atau orang-orang yang secara prestasi itu bagus, mereka punya latar belakang sosial yang berbeda-beda saat masih anak-anak. Ada yang lahir dari keluarga serba cukup, berstatus sosial bagus, dan dibekali pendidikan formal yang bagus. Contoh-contohnya bisa kita temukan sendiri di sekitar kita.

Tapi ada juga yang punya latar belakang kacau, serba kekurangan dan harus menghadapi kenyataan punya orangtua tunggal. Pak Garuda Sugardo, yang kini dipercaya sebagai wakil dirut Telkom, merupakan satu dari sekian ribu anak yang kecilnya harus hidup di panti asuhan sampai akhir remaja. Pak Sugiharto yang kini menteri juga pernah jadi tukang parkir, ikut tinggal di rumah orang lain sebagai tenaga pembantu apa saja sampai lulus SLTA. Begitu juga Mas Tukul Arwana atau Mas Yohanes Suryo. Contoh lainnya bisa kita tambah sebanyak mungkin dari fakta-fakta yang kita temui dalam kehidupan.

Nah, meskipun mereka punya latar belakang sosial yang bermacam-macam, namun sepertinya ada kesamaan yang mungkin bisa kita jadikan pelajaran dalam mendidik anak-anak. Salah satu yang terpenting adalah keberadaan orang dewasa yang berperan sebagai orangtua saat itu, entah itu orangtuanya sendiri, orangtua angkatnya, atau siapa saja yang dianggap orangtua oleh si anak. Mereka, dalam proses perkembangannya, mendapati orang dewasa / orangtua yang bagus.

Seperti apa orangtua yang bagus itu? Pengertian orangtua yang bagus inipun bermacam-macam. Bahkan kerap terjadi perbedaan dalam memahani definisi ini. Secara umum dan secara prinsipil, orangtua yang bagus adalah orangtua yang sanggup memainkan peranan dirinya sebagai orangtua seoptimal mungkin di mata anak-anak. Peranan yang optimal itu ditandai, salah satunya, dengan kemampuannya dalam memunculkan apa yang dalam teori pengetahuan disebut success factors.

Setiap manusia punya sesuatu yang bisa disebut dengan istilah faktor kesuksesan dan faktor ketidaksuksesan. Faktor sukses itu misalnya punya kemauan keras, kejujuran, baik hati sama orang lain (helpful), kejelasan dalam melangkah, kegigihan dalam memperjuangkan tekad, disiplin, percaya-diri, dan seterusnya. Sedangkan faktor ketidaksuksesan itu misalnya: keminderan, kecil hati, penyimpangan moral, kemalasan, kekacauan, keputusasaan, konflik, dan seterusnya.

Karena kata kuncinya di sini adalah optimalisasi peranan, maka siapapun punya kesempatan yang sama untuk menjadi orangtua yang bagus atau menjadi orangtua yang tidak bagus. Belum tentu orangtua yang pendidikannya bagus, ekonominya bagus, status sosialnya bagus bisa menjadi orangtua yang bagus bagi anak-anaknya. Sebaliknya, belum tentu juga seorang janda dengan keadaan ekonomi yang serba kekurangan, pendidikannya SD atau bahkan buta huruf, anaknya empat atau lima yang butuh dikasih makan, status sosialnya rendah, tinggal di rumah yang sangat-sangat sederhana, tidak sanggup menjadi orangtua yang bagus.

Dari fakta-fakta seperti itu bisa kita katakan, orangtua yang status sosialnya bagus, ekonominya bagus, pendidikannya bagus, baru memiliki peluang untuk menjadi orangtua yang bagus. Peluang mereka lebih besar. Sebaliknya, orangtua yang serba kekurangan, banyak masalah, status sosial dan pendidikannya rendah, pun baru memiliki peluang untuk menjadi orangtua yang tidak bagus. Peluang yang saya maksudkan di sini adalah kemungkinan (possibility). Namanya juga kemungkinan, cara kerjanya sama seperti bunyi iklan: maybe yes and maybe no.

Konsep-diri pada anak

Seperti yang sudah pernah kita bahas di sini, konsep-diri di sini adalah bagaimana anak-anak itu mempersepsikan dirinya. Menurut kesimpulan Dr. Maxwell Maltz, tindakan manusia itu erat kaitannya dengan bagaimana manusia itu mendefinisikan dirinya. Persepsi dan definisi-diri ini ada yang positif ada yang negatif. Ada yang mendukung atas munculnya success-factors dan ada yang mendukung munculnya failure-factors. Ada yang merusak dan ada yang membangun. Ada yang lemah dan ada yang kuat.

Menurut Harter (1991), pengaruh konsep-diri yang paling besar itu pada dua hal, yaitu:

§ Afeksi

§ Motivasi

Afeksi di sini mengarah pada kondisi emosi seseorang. Konsep-diri positif akan berpengaruh atas munculnya emosi positif, seperti kebahagian, kepuasaan, dan seterusnya. Sebaliknya, konsep-diri negatif akan berpengaruh pada munculnya emosi negatif, misalnya kesedihan, tekanan, depresi, dan seterusnya. Emosi positif akan memunculkan harga-diri positif sedangkan emosi negatif kerap menjadi sumber harga diri negatif. Harga diri negatif inilah yang kerap menjadi biangnya kerusakan emosi.

Sedangkan motivasi di situ mengarah pada pengertian kualitas motif seseorang untuk mengembangkan potensinya dalam meraih keinginan-keinginannya (prestasi). Konsep-diri positif akan menjadi sumber motif perjuangan yang kuat. Sebaliknya, konsep-diri negatif kerap menjadi sumber munculnya motif yang lemah. Seorang anak yang punya cita-cita bagus, punya harga-diri yang bagus, punya penyerapan yang bagus terhadap nilai-nilai, umumnya memiliki motif yang kuat untuk mengembangkan potensinya atau meraih prestasinya.

Perlu kita sadari bahwa proses terbentuknya konsep-diri pada anak-anak itu agak berbeda dengan orang dewasa. Ini karena orang dewasa sudah melewati sekian proses kehidupan yang memungkinkannya untuk mengaktifkan kapasitas dalam membedakan sesuatu. Hal ini berbeda dengan anak-anak. Konsep-diri pada anak-anak antara lain diperoleh dari pendapat / penilaian dari luar dirinya (orang lain atau lingkungan). Karena itu, teori pendidikannya mengatakan, sebagian besar cara belajar anak-anak itu adalah imitasi, mengkopi dan merefleksikan rangsangan atau stimuli dari luar (pengalaman indrawi).

Dorothy Law Nolte mengatakan: "jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki, jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah, jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan, jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri". Prakteknya mungkin tidak se-teknis yang dikatakan Dorothy ini. Hemat saya, ini adalah acuan agar kita perlu lebih banyak menanamkan "pil" positif kepada anak-anak dan selalu berusaha mengurangi masuknya pil-pil negatif.

Menurut Cooley (1991), omongan dari luar itu berperan penting dalam proses pembentukan konsep diri, baik bagi orang dewasa dan lebih-lebih bagi anak-anak. Omongan orang lain berperan membentuk persepsi seseorang atas dirinya. Penilaian atau kritik orang lain berperan membentuk persepsi seseorang atas dirinya. Keadaan atau situasi berperan membentuk persepsi seseorang atas dirinya.

Konsep-diri yang terbentuk dalam masa kanak-kanak itu umumnya akan "bagaikan mengukir di atas batu". Meminjam istilah dalam teori kompetensi, ia masuk dalam core personality yang sulit untuk diubah dan diukur hidden. Ia menjadi semacam apa yang kita sebut bawaan, watak, sifat, atau culture. Ini beda dengan pengetahuan atau skill. Keduanya masuk dalam surface personality (permukaan). Biasanya in lebih gampang diubah dan bisa diukur atau dilihat

Karena itu, jangan heran bila ada orang yang sudah sekolah kemana-mana bahkan sampai di luar negeri segala, tapi ketika sudah bicara kultur hidup atau prilaku sehari-hari, ia mengakui peranan orangtuanya atau gurunya atau lembaganya waktu masih kecil. Ini bukan saja terjadi pada kehidupan Bang Buyung Nasution atau Prof. Hamka. Pak Karno pun mengakui peranan Cokroaminoto, meski bukan orangtua asli.

Hal-hal yang Bisa Kita Lakukan

Sebagai orangtua, kita kerap mengatakan bahwa anak-anak itu adalah masa depan kita, penerus perjuangan kita atau kader kita. Ini tentu benar. Cuma, yang kerap kita lupakan adalah peranan kita sendiri bagi anak-anak. Kita bukan saja masa depan anak-anak, tapi juga hari ini dan masa lalu bagi mereka.

Artinya, porsi pendidikan (dalam arti yang seluas-luasnya) yang mestinya kita berikan kepada anak-anak itu tidak bisa ditinggalkan, diwakilkan atau diserahkan kepada siapapun, termasuk kepada sekolah yang paling mahal sekali pun. Ini mengingat betapa pentingnya peranan kita bagi mereka. Pendidikan sekolah punya porsi sendiri dan pendidikan kita juga demikian. Kata Gibran, anak-anakmu memang bukan milikmu, tapi mereka adalah tanggung jawabmu.

Kalau mau jujur, sebetulnya masih banyak yang dapat kita lakukan untuk menanamkan konsep-diri positif itu. Ini terlepas apakah kita sebagai orangtua yang super sibuk, yang sibuk atau biasa-biasa saja sibuknya. Sebagian dari sekian hal yang masih bisa kita lakukan itu antara lain di bawah ini:

Pertama, memberikan rangsangan yang membangkitkan. Rangsangan ini bentuknya banyak dan bisa kita pilih sesuai keadaan, keadaan dalam arti kebutuhan, kepentingan, kemanfaatan atau isi kantong. Ini misalnya saja: membangkitkan jiwanya, membesarkan hatinya, memperkuat imannya atau mentalnya, memberikan bacaan yang meng-inspirasi, mengarahkan dia untuk mengidolakan tokoh-tokoh yang bermutu, menyediakan fasilitas pendidikan di rumah, mengajak mereka untuk mengunjungi event-event yang bermutu, mendiskusikan PR-nya, dan lain-lain. Yang tak kalah pentingnya adalah bermain dengan anak dimana kita bisa memasukkan pil-pil positif saat hatinya senang.

Perlu kita sadari bahwa meskipun bentuk-bentuk rangsangan itu remeh menurut kita, tetapi tidak bagi mereka. Kalau melihat ilustrasi milik Profesor Marian Diamond tentang otak yang dirangsang dan otak yang tidak distimulasi, ternyata bedanya terletak pada jumlah koneksi. Otak yang distimulasi punya koneksi yang cukup banyak. Sementara, otak yang jarang distimulasi, koneksinya jarang dan putus-putus. Koneksi ini tentu sangat menentukan ketika dewasa. Koneksi yang bagus akan membuat orang lebih kreatif, lebih kritis, lebih responsif, lebih cepat "nyambung" dan seterusnya.

Kedua, memberikan pemahaman yang benar terhadap persoalan hidup (realitas). Misalnya saja pemahaman tentang pentingnya tolong menolong, pentingnya melawan keminderan dan kemalasan, pentingnya menyadari potensi dan kelebihan, pentingnya keikhlasan, kejujuran, kegigihan, melawan kesulitan, dan lain-lain.

Harus kita akui memang, hampir semua orangtua sudah melakukan ini, tetapi bedanya adalah: ada yang sudah diucapkannya dengan pengungkapan yang mendidik tetapi ada yang hanya didiamkan; ada yang memang didasari kesadaran untuk mendidik tetapi ada yang hanya karena reaksi / emosi sesaat. Sebut saja misalnya kita mengatakan si anak itu pemalas dengan nada marah atau kesal pada saat tidak merapikan tempat tidur. Ini terkadang terkesan lebih merupakan ungkapan kekesalan kita, bukan kesadaran kita untuk mendidik.

Biasanya ini terjadi ketika kita sebagai orang dewasa terlalu memikirkan urusan kita pribadi dengan berbagai macam pernak-perniknya. Akibatnya, mau tidak mau, muncul efek kurang peduli atau muncul efek tidak mau susah ikut memikirkan persoalan anak. Akibatnya, mungkin ada anak-anak yang berinisiatif mengabaikan tugas-tugas rumah dari sekolah karena di rumahnya tidak ada yang mengontrol, tidak ada yang menemai atau tidak ada mendorong atau tidak ada yang peduli.

Ketiga, membantu anak dalam mengungkap kelebihan-kelebihannya. Kita semua sudah yakin bahwa pada setiap bayi yang lahir ke dunia ini memiliki kelebihan-kelebihan, di samping juga kekurangan-kekurangan. Bentuknya mungkin bisa bakat umum atau khusus, kecerdasan akademis, kemampuan sosial, leadership, seni, kecenderungan atau kesenangan (hobi) terhadap bidang-bidang tertentu, dan seterusnya dan seterusnya.

Meski sudah sedemikian rupa keyakinan itu ada, namun dalam prakteknya kita kerap lupa. Terkadang kita kurang adil dalam melihat sosok si anak. Letak ketidakadilan itu, misalnya, ketika yang kita temukan atau yang berusaha untuk kita temukan dari si anak itu adalah yang jelek-jeleknya saja atau yang minus-minusnya saja. Fatalnya lagi, terkadang itu kita jadikan semacam label untuk anak. Pelabelan (labelling) inilah yang kurang mendukung keinginan kita untuk membangun definisi-diri positif. Sebuah penelitian di Amerika mengungkap, setiap anak, sejak usia dini, menerima enam komentar negatif untuk setiap satu dorongan yang positif (Jack Canfield: 1982)

Bagaimana dengan penyimpangannya, kenakalannya, kekurangannya? Tentu saja tetap kita awasi namun tetap diupayakan asas keadilan tadi. Sebab, kalau kita hanya memuji terus namun mengabaikan teguran / koreksi yang faktanya itu dibutuhkan, ini juga bisa membikin anak salah persepsi tentang dirinya. Salah persepsi akan sama bahayanya dengan persepsi yang negatif.

Terakhir, di atas dari tiga hal di atas, adalah keteladanan. Ini tentu kita sudah tahu semua. Yang selalu dibutuhkan adalah kesadaran baru dan kesadaran baru. Sebab, yang lebih kuat mendorong kita untuk melakukan sesuatu itu terkadang bukan pengetahuan, melainkan kesadaran baru. Semoga bermanfaat.


Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 09 Mei 2007

www.e-psikologi.com

Sikap Hidup Di Hari Senja

Post power syndrome

Istilah post power syndrome (selanjutnya akan disebut PPS) sudah populer di masyarakat kita dan sering dikaitkan dengan masa pensiun. Manakala kita menemui seorang yang telah lepas dari jabatan tertentu namun bersikap seolah-olah masih memegang posisi penting dan memandang orang lain sebagai bawahannya, kita akan langsung menebak orang tersebut mengalami PPS. Hal itu pulalah yang menjadikan susahnya regenerasi kepemimpinan di negeri ini. Sangat sulit ditemui seorang mantan pemimpin daerah atau institusi penting yang begitu lepas dari jabatannya mampu legowo berbaur dengan 'orang biasa' dan bersikap selayaknya 'orang biasa'. Terlebih jika tampuk kepemimpinan itu dinikmati dalam kurun waktu yang lama tanpa pesaing.

Supardi (2002) menyatakan PPS sebagai perubahan suatu keadaan yang sebelumnya menguntungkan menjadi tidak menguntungkan seperti kehilangan pekerjaan, jabatan atau perubahan status sosial ekonomi.

Turner & Helms (dalam Supardi, 2002) menggambarkan penyebab terjadinya PPS dalam kasus kehilangan pekerjaan yakni (1) kehilangan harga diri- hilangnya jabatan menyebabkan hilangnya perasaan atas pengakuan diri); (2) kehilangan fungsi eksekutif- fungsi yang memberikan kebanggaan diri; (3) kehilangan perasaan sebagai orang yang memiliki arti dalam kelompok tertentu; (4) kehilangan orientasi kerja; (5) kehilangan sumber penghasilan terkait dengan jabatan terdahulu.

Semua ini bisa membuat individu pada frustrasi dan menggiring pada gangguan psikologis, fisik serta sosial. Gangguan tersebut biasanya ditandai dengan munculnya sensitivias emosional seperti mudah kecewa, cepat tersinggung, uring-uringan tanpa sebab yang jelas, gelisah juga diliputi kecemasan berlanjut.

PPS tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal seperti dipaparkan di atas, melainkan juga ditentukan oleh faktor internal seperti kepribadian dan sikap mental. Erikson menggambarkan perkembangan psikososial seseorang dalam delapan tahapan; infancy, early childhood, play age, school age, adolescence, young adulthood, adulthood dan old age.


Masa Pensiun

Old age (masa tua) bisa menjadi masa yang menyenangkan atau sebaliknya menyedihkan. "Old age can be a time of joy, playfulness, and wonder, but it is also a time of senility, depression, and despair," (Erikson dalam Fiest & Fiest, 2002). Kekuatan di masa ini adalah wisdom (kebijaksanaan) yang oleh Erikson digambarkan sebagai kondisi kaya akan pemahaman dan obyektif terhadap kehidupan dalam menghadapi akhir dari kehidupan itu sendiri, "informed and detached concern with life itself in the self of death itself."

Individu usia 55 - 65 tahun mengalami fase ke-7 (fase generativitas vs stagnasi) dan ke-8 (fase integritas diri vs putus asa) dalam tahap perkembangan Erikson. Pada individu yang mengalami PPS, fase stagnasi dan putus asa lah yang mendominasi perilakunya.

Fase stagnasi adalah fase di mana individu terpaku dan berhenti dalam beraktivitas atau berkarya, sementara pada fase putus asa, individu merasakan kecemasan yang mendalam, merasa hidupnya sia-sia, tidak berarti.


Sikap mental

Sukaji (1997) merumuskan sikap terhadap masa pensiun sebagai suatu kecenderungan untuk bereaksi favorable (menyenangi, menyetujui, menganggap baik dan positif) atau unfavorable terhadap suatu kelas stimuli tertentu, misalnya terhadap para pensiunan menghadapi masa pensiun.

Tri Mardhany dalam skripsinya yang berjudul Makna hidup pada pensiunan yang mengalami post power syndrome dengan yang tidak mengalami post power syndrome (Fakultas Psikologi UI, 2003) menyimpulkan bahwa perbandingan sikap menghadapi masa pensiun pada pensiunan yang mengalami PPS dan non PPS secara signifikan mengalami perbedaan. Non PPS menyikapi masa pensiun secara positif dan menyadari usianya telah lanjut. Sedangkan PPS menyikapi masa pensiun dengan menyangkalnya. Penyangkalan ini karena mereka yang mengalami PPS memiliki orientasi pada bekerja dan jabatan yang disandang.

Menarik untuk disimak hasil studi Tri Mardhany dalam tabel berikut:

Perbedaan Sikap dan Makna Hidup antara Pensiun PPS dan Non PPS


PPS

Non PPS

Sikap terhadap pensiun

Kesiapan

Tidak ada

Sudah ada sejak lama

Pengetahuan

Tidak ada

Mencari informasi

Tingkah laku

Menolak

menerima

Pemikiran baiknya

Menganggur

Istirahat sebagai pekerja

Pemikiran buruknya

Kehilangan pekerjaan, uang, kekuasaan dan penghormatan

Tidak ada

Emosi

Marah, sedih, stres

Mawas diri, lega, bijak, pasrah pada Tuhan

Makna Hidup

Makna kerja

Kehormatan dan kekuasaan

Tanggung jawab, bekerja dengan baik, prestasi

Makna derita

Kehilangan kerja, uang, kehormatan

Tidak ada

Perkembangan menjadi tua


Stagnasi

Generativitas


Putus asa

Integrasi diri

Masa Pensiun

Fase honeymoon

Bersenang-senang

Untuk hal yang berguna

Fase disenchantment

Membosankan

Merasa puas

Fase reorientation

Masih mencari aktivitas

Aktivitas sosial

Fase stability

Aktivitas belum cocok

Menyenangi aktivitas

Fase termination

Menjadi perhatian keluarga

Puas dan bahagia


Deprivasi Relatif

Secara singkat deprivasi relatif merupakan ketidaksesuaian antara kenyataan hidup yang dialami dengan definisi hidup yang layak, antara harapan atas suatu pekerjaan dengan kenyataan hidup yang dialami (Bowen, Bowen dan Gawsier,1968) atau feelings of dissatisfaction, discontent and unfairness (Grant & Brown, 1995).

Orang yang kehilangan pekerjaan baik karena telah memasuki pensiun atau pemutusan hubungan kerja dan sebagainya sangat mungkin mengalami deprivasi relatif. Perasaan kehilangan dan tidak adilnya hidup masa sekarang dibandingkan dengan masa yang sebelumnya. Terdapat proses perbandingan di sini.

PPS, yang merupakan kondisi tidak menguntungkan dari keadaan terdahulu sejalan dengan deprivasi yang akan sangat terasa karena orientasi diri orang yang mengalami PPS ada pada pekerjaan dan kekuasaan. Meskipun dalam studi deprivasi, sebesar apapun kesenjangan antara harapan dengan kenyataan tidak selalu menghasilkan ketidakpuasan dan kemarahan (Wright, Taylor, Moghaddam,2001; Klandersman,1997). Namun Klandersman dalam value-expectancy theory nya juga menyatakan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi nilai (value) dari hasil yang diharapkan dari sebuah perbuatan. "Individual's behavior is a function of the value of expected outcomes of behavior" (Klandersman,1997,h.26). Perilaku seseorang akan menghasilkan sesuatu, semakin tinggi nilai yang diharapkan, semakin tinggi pula keinginan untuk mewujudkan perilaku tertentu.


Asa

Mantan presiden Amerika Jimmy Carter masih sering terlihat aktif berkeliling dunia dalam misi kemanusiaan dan masih mendapat penghormatan dan penghargaan tulus masyarakat dunia. Semoga bangsa Indonesia tidak harus menunggu lebih lama lagi untuk memiliki dan menyaksikan para mantan pemimpin atau petinggi negeri ini untuk tetap eksis, menghampiri dan berbaur dalam masyarakat tanpa mengalami PPS atau deprivasi relatif.

***

Sumber:

Bowen,D.R., BowenE.R. & Gawsier,S.R. (1968) Deprivation, mobility and orientation toward protest of the urban poor. American Behavioral Scientist. 11 (4):20-24, London: Sage Publication.

Fiest, J. & Fiest,J.G. (2002) Theories of personality. Boston: McGraw Hill

Grant,P.R. & Brown,R. (1995) From ethnocentrism to collective protest: responses to relative deprivation and threats to social identity. Social Psychology Quarterly. 1995, Sep, vol.58(3):195-212. American Psychology Association.

Klandersman,B.(1997) The social psychology of protest. USA: Blackwell Publishers.

Sukaji,S. (1997) Diagnostik v inventori dan kepribadian. Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi UI.

Supardi, S. (2002) Apakah post power syndrome? Kompas.co.id/litbang/kliping

Tri Mardhany, V. (2003) Sikap dan makna hidup pada pensiunan yang mengalami post power syndrome dengan yang tidak mengalami post power syndrome. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Turner & Helms (1987) Cara jitu atasi post power syndrome. http://2000 klinikpria.com

Wright,S.C., Taylor,D.M., Moghaddam,F.M. (2001) Responding to membership in a disadvantage group: from acceptance to collective protest. Dalam Intergroup relations. Philadelphia: Psychology Press.


Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
Jakarta, 04 Januari 2008

www.e-psikologi.com


Pengenalan Dini Demensia (Predimensia)

Proses menua pada manusia merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan. Semakin baik pelayanan kesehatan sebuah bangsa makin tinggi pula harapan hidup masyarakatnya dan pada gilirannya makin tinggi pula jumlah penduduknya yang berusia lanjut. Demikian pula di Indonesia (Sidiarto Kusumoputro, 2002 :1)

Untuk proses menua yang terjadi pada otak, Cummings dan Benson (1992) menggunakan istilah "senescence" yang menandakan perubahan proses menua yang masih dalam taraf normal dan istilah "senility" untuk gangguan intelektual yang terjadi pada lanjut usia tetapi belum mengalami "dementia" (Besdin,1987). Sejak lama istilah perubahan dan gangguan intelektual tersebut dipergunakan tanpa ada jabaran yang rinci. Karena itu hampir semua orang lansia yang mengalami kemunduran fungsi mentalnya secara mudah disebut sebagai telah mengalami demensia. Dalam kenyataan belum tentu lansia sudah mengalami demensia dan mungkin hanya baru dalam taraf predemensia. Istilah predemensia belum begitu dikenal oleh masyarakat oleh karena itu hal ini perlu disosialisasikan.

Istilah Menyesatkan

Seringkali seseorang yang berumur setengah baya ataupun lanjut usia yang mengalami gangguan daya ingat atau sering lupa tentang nama seseorang,atau nama benda atau pun peristiwa, dengan cepat dianggap sebagai "pikun" atau diberi label sebagai orang pikun (Istilah "pikun" secara medis adalah "Dementia"). Pada kenyataannya mungkin sekali orang tersebut belum mengalami pikun atau demensia tetapi baru dalam taraf "Senescence" atau "senility", sebagai gambaran predemensia, yaitu sebagai awal munculnya tanda-tanda demensia, yang dalam pengobatan modern mungkin masih dapat dicegah dan diobati agar tidak segera benar-benar menjadi pikun.

Istilah bahasa Indonesia juga turut membingungkan karena "senile" diterjemahkan sebagai "pikun" dan "demented" diterjemahkan sebagai "gila". Mungkin juga yang memunculkan istilah tersebut ikut bingung karena dalam hal ini sangat sulit menggunakan istilah bahasa Indonesia yang tepat, cocok, pasti seperti kata asli yang muncul dalam bidang kedokteran dan kesehatan.

Kemunduran Kemampuan Otak

Akibat proses penuaan, mau tidak mau terjadi kemunduran kemampuan otak. Diantara kemampuan yang menurun secara linier atau seiring dengan proses penuaan adalah :

Daya Ingat (memori), berupa penurunan kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi yang telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from memory). Dalam hal ini adalah sangat penting untuk menjaga agar memori itu tetap eksis dan karenanya perlu digunakan secara terus-menerus dan jangan dibuat menganggur atau diistirahatkan. Untuk itu membaca, mendengar berbagai berita, atau ceritera melalui berbagai media sangat penting bagi lansia. Namun bagi lansia yang "mengistirahatkan diri," atau dipaksa untuk istirahat tanpa kegiatan apapun, tidak mau membaca Koran, maunya ongkang-ongkang kaki, enak-enak, apalagi sambil merenungi nasibnya diyakini akan semakin mempercepat kemunduran fungsi ingatan dan fungsi mentalnya. Hal semacam ini menjadi bahaya bagi lansia,karena hal-hal lain pun mengalami kemunduran secara cepat.

Intelegensia Dasar (Fluid intelligence) yang berarti penurunan fungsi otak bagian kanan yang antara lain berupa kesulitan dalam komunikasi non verbal, pemecahan masalah, mengenal wajah orang, kesulitan dalam pemusatan perhatian dan konsentrasi (Hochanadel and Kaplan, 1984 dalam Strub and Black, 1992). Untuk mengendalikan hal ini, maka sebaiknya orang walaupun dalam kondisi lansia, juga tetap mempertahankan cara belajar. Hal itu bukan harus mengulang-ulang belajar seperti anak sekolah, namun perlu melakukan latihan-latihan untuk mengasah otak, seperti memecahkan masalah yang sederhana, tetap menggerakkan anggota tubuh secara wajar, mengenal tulisan-tulisan, angka-angka, simbol-simbol, dan sebagainya.

Dimensia (Pikun)

Kriteria "dementia" atau kepikunan menurut DSM-III dan ICD-10 adalah sebagai berikut :

"Loss of intellectual abilities of sufficient severity to interfere with social or occupational functioning. Deficits should be multifaceted : memory, judgment, abstract thinking etc."

Keadaan demensia pada usia lanjut terjadi tidak secara tiba-tiba, tetapi secara berangsur-angsur melalui sebuah rangkaian kesatuan dimulai dari "Senescence" berkembang menjadi "senility" yang disepakati sebagai kondisi "pre-demensia" dan selanjutnya baru menjadi "dementia". Pengenalan demensia masa kini dipusatkan pada pengenalan dini melalui rangkaian kesatuan tersebut yaitu mulai dari kondisi "senescence" yang dikenal sebagai "benign senescent forgetfulness (BSF)", dan "age-associated memory impairment (AAMI)", – berlanjut menjadi kondisi "Senility" yang antara lain dikenal sebagai "cognitively impaired not demented (CIND)", dan "mild cognitive impairment ( MCI)". Akhirnya barulah disusul fase "dementia".

Pengenalan Dini Demensia

Pengenalan dini demensia berarti mengenali :

  • Kondisi normal (mengidentifikasi BSF dan AAMI): kondisi kognitif pada lanjut usia yang terjadi dengan adanya penambahan usia dan bersifat wajar. Contoh: keluhan mudah-lupa secara subyektif, tidak ada gangguan kognitif ataupun demensia.
  • Kondisi pre-demensia (mengidentifikasi CIND dan MCI): kondisi gangguan kognitif pada lanjut usia dengan cirri mudah lupa yang makin nyata dan dikenali (diketahui dan diakui) oleh orang dekatnya. Mudah lupa subyektif dan obyektif serta ditemukan performa kognitif yang rendah tetapi belum ada tanda-tanda demensia.
  • Kondisi demensia : kondisi gangguan kognitif pada lanjut usia dengan berbagai jenis gangguan seperti mudah lupa yang konsisten, disorientasi terutama dalam hal waktu, gangguan pada kemampuan pendapat dan pemecahan masalah, gangguan dalam hubungan dengan masyarakat, gangguan dalam aktivitas di rumah dan minat intelektual serta gangguan dalam pemeliharaan diri.

Dalam tahap pengenalan dini dimensia, sangatlah penting untuk mengenali kemunduran kognitif seseorang pada fase awal daripada mengenalinya setelah yang bersangkutan mengalami demensia. Pengenalan dini tentang kemunduran kognitif pada lanjut usia menjadi fokus utama ilmu neuro/psiko geriatri masa kini. Disini diperlukan kerjasama antara neurolog, psikiater dan psikolog yang memiliki minat dan perhatian pada lansia.

Diagnosis Deferensial

No.

Uraian

Dimensia

CIND / MCI

BSF / AAMI

1.

Keluhan Daya Ingat (Mudah Lupa):

· Subyektif (oleh penyandang)

· Obyektif (oleh keluarga)

Tidak ada

Ada

Ada / Tidak ada

Ada

Ada

Tidak ada

2.

Gangguan kehidupan harian:

· Dasar

· Kompleks

Ada

Ada

Tidak ada

Ada

Tidak ada

Tidak ada

3.

Perilaku Abnormal

Ada

Ada / Tidak ada

Tidak ada

4.

Performa Abnormal Memori:

· Test Skrining

· Test Formal

Ada

Ada

Ada / Tidak ada

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Sumber: Consensus Paper MCI 2000 (dikutip dari Sidiato Kusumoputro, 2002: 6)

Dari bacaan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  • Kemampuan daya ingat merupakan salah satu ukuran bagi kualitas hidup manusia.
  • Mudah lupa (forgetfulness) merupakan gejala yang banyak ditemukan pada para lanjut usia (elderly people).
  • Mudah lupa dapat berwujud sebagai kondisi yang wajar : Benign Senescent Forgetfulness (BSF), tetapi mudah lupa dapat berlanjut sebagai Malignant Senescent Forgetfulness yang sudah tidak wajar.
  • Mudah lupa dapat merupakan gejala awal dari demensia atau kepikunan.(jp)

Oleh : Drs. H. Zainuddin Sri Kuntjoro, MPsi.
Jakarta, 17 Juni 2002
www.e-psikologi.com

Memahami Kepribadian Lansia

Kepribadian atau personality berasal dari kata persona yang berarti masker atau topeng; maksudnya apa yang tampak secara lahir tidak selalu menggambarkan yang sesungguhnya (dalam bathinnya). Contoh: orang lapar belum tentu mau makan ketika ditawari makanan, pada hal perutnya keroncongan. Orang tidak punya uang dapat berpura-pura punya uang atau sebaliknya. Itulah gambaran kepribadian, bahwa yang tampak bukan yang sebenarnya. Kepribadian adalah semua corak perilaku dan kebiasaan individu yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dari dalam. Corak perilaku dan kebiasaan ini merupakan kesatuan fungsional yang khas pada seseorang. Perkembangan kepribadian tersebut bersifat dinamis, artinya selama individu masih bertambah pengetahuannya dan mau belajar serta menambah pengalaman dan keterampilan, mereka akan semakin matang dan mantap kepribadiannya (Depkes, 1992).

Pada lansia yang sehat, kepribadiannya tetap berfungsi dengan baik, kecuali kalau mereka mengalami gangguan kesehatan jiwanya atau tergolong patologik. Sifat kepribadian seseorang sewaktu muda akan lebih nampak jelas setelah memasuki lansia sehingga masa muda diartikan sebagai karikatur kepribadian lansia. Dengan memahami kepribadian lansia tentu akan lebih memudahkan masyarakat secara umum dan anggota keluarga lansia tersebut secara khusus, dalam memperlakukan lansia dan sangat berguna bagi kita dalam mempersiapkan diri jika suatu hari nanti memasuki masa lansia. Adapun beberapa tipe kepribadian lansia adalah sebagai berikut:

  • Tipe Konstruktif (Constructive Personality)
  • Tipe Mandiri (Independent Personality)
  • Tipe Tergantung (Dependent Personality)
  • Tipe Bermusuhan (Hostility Personality)
  • Tipe Kritik Diri (Self Hate Personality)

Tipe Kepribadian Konstruktif

Model kepribadian tipe ini sejak muda umumnya mudah menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan dan pola kehidupannya. Sejak muda perilakunya positif dan konstruktif serta hampir tidak pernah bermasalah, baik di rumah, di sekolah maupun dalam pergaulan sosial. Perilakunya baik, adaptif, aktif, dinamis, sehingga setelah selesai mengikuti studi ia mendapatkan pekerjaan juga dengan mudah dan dalam bekerjapun tidak bermasalah. Karier dalam pekerjaan juga lancar begitu juga dalam kehidupan berkeluarga; tenang dan damai semua berjalan dengan normatif dan lancar. Dapat dikatakan bahwa tipe kepribadian model ini adalah tipe ideal, seolah-olah orang tidak pernah menghadapi permasalahan yang menggoncangkan dirinya sehingga hidupnya terlihat stabil dan lancar. Jika tipe kerpibadian ini terlihat seolah-olah tidak pernah bermasalah hal itu terjadi karena tipe kepribadian model ini mudah menyesuaikan diri, dalam arti juga pandai mengatasi segala permasalahan dalam kehidupannya. Sifatnya pada masa dewasa adalah mempunyai rasa toleransi yang tinggi, sabar, bertanggung jawab dan fleksibel, sehingga dalam menghadapi tantangan dan gejolak selalu dihadapi dengan kepala dingin dan sikap yang mantap.

Pada masa lanjut usia model kepribadian ini dapat menerima kenyataan, sehingga pada saat memasuki usia pensiun ia dapat menerima dengan suka rela dan tidak menjadikannya sebagai suatu masalah, karena itu post power sindrome juga tidak dialami. Pada umumnya karena orang-orang dengan kepribadian semacam ini sangat produktif dan selalu aktif, walaupun mereka sudah pensiun akan banyak yang menawari pekerjaan sehingga mereka tetap aktif bekerja di bidang lain ataupun ditempat lain. Itulah gambaran tipe kepribadian konstruktif yang sangat ideal, sehingga mantap sampai lansia dan tetap eksis di hari tua.

Tipe Kepribadian Mandiri

Model kepribadian tipe ini sejak masa muda dikenal sebagai orang yang aktif dan dinamis dalam pergaulan sosial, senang menolong orang lain, memiliki penyesuaian diri yang cepat dan baik, banyak memiliki kawan dekat namun sering menolak pertolongan atau bantuan orang lain. Tipe kepribadian ini seolah-olah pada dirinya memiliki prinsip "jangan menyusahkan orang lain" tetapi menolong orang lain itu penting. Jika mungkin segala keperluannya diurus sendiri, baik keperluan sekolah, pakaian sampai mencari pekerjaan dan mencari pasangan adalah urusan sendiri. Begitu juga setelah bekerja, dalam dunia kerja ia sangat mandiri dan sering menjadi pimpinan karena aktif dan dominan. Perilakunya yang akif dan tidak memiliki pamrih, justru memudahkan gerak langkahnya, biasanya ia mudah memperoleh fasilitas atau kemudahan-kemudahan lainnya sehingga kariernya cukup menanjak, apalagi jika ditunjang pendidikan yang baik, maka akan mengantarkan model kepribadian yang mandiri menjadi pimpinan atau manajer yang tangguh.

Dalam kehidupan berkeluarga model kepribadian ini umumnya sangat dominan dalam mengurus keluarganya. Semua dipimpin dan diatur dengan cekatan sehingga semua beres. Seolah-olah dalam benaknya anak istri tidak boleh kerepotan dan jangan merepotkan orang lain. Model tipe ini adalah ayah atau ibu yang sangat perhatian pada anak-anak dengan segala kebutuhannya.

Bagaimana model kepribadian tipe ini memasuki masa pensiaun dan masa lansia? Disinilah mulai timbul gejolak, timbul perasaan khawatir kehilangan anak buah, teman, kelompok, jabatan, status dan kedudukan sehingga cenderung ia menunda untuk pensiun atau takut pensiun atau takut menghadapi kenyataan. Termasuk dalam kelompok kepribadian model ini adalah mereka yang sering mengalami post power sindrome setelah menjalani masa pensiun. Sedangkan tipe kepribadian ini yang selamat dari sindrome adalah mereka yang biasanya telah menyiapkan diri untuk memiliki pekerjaan baru sebelum pensiun, misalnya wira swasta atau punya kantor sendiri atau praktek pribadi sesuai dengan profesinya masing-masing dan umumnya tidak tertarik lagi bekerja disuatu lembaga baru kecuali diserahi penuh sebagai pimpinan.

Tipe Kepribadian Tergantung

Tipe kepribadian tergantung ditandai dengan perilaku yang pasif dan tidak berambisi sejak anak-anak, remaja dan masa muda. Kegiatan yang dilakukannya cenderung didasari oleh ikut-ikutan karena diajak oleh temannya atau orang lain. Karena pasif dan tergantung, maka jika tidak ada teman yang mengajak, timbul pikiran yang optimistik, namun sukar melaksanakan kehendaknya, karena kurang memiliki inisiatif dan kreativitas untuk menghadapi hal-hal yang nyata. Pada waktu sekolah mereka biasanya dikenal sebagai siswa yang pasif, tidak menonjol, banyak menyendiri, pergaulannya terbatas sehingga hampir-hampir tidak dikenal kawan sekelasnya. Begitu juga saat menjadi mahasiswa, biasanya serba lambat karena pasif sehingga masa studinya juga lambat. Dalam mencari pekerjaan orang tipe ini biasanya tergantung pada orang lain, sehingga masuk usia kerja juga lambat dan kariernya tidak menyolok. Dalam bekerja lebih senang jika diperintah, dipimpin dan diperhatikan oleh orang lain atau atasan, namun jika tidak ada perintah cenderung pasif seolah-olah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam pergaulan sehari-hari mereka cenderung menunggu ajakan teman namun sesudah akrab sulit melupakan jasa baik temannya.

Dalam kehidupan perkawinan, karena orang pasif biasanya menikah terlambat dan memilih istri atau suami yang dominan, maka dalam kehidupan keluarga biasanya akur, akrab, tentram tidak banyak protes, pokoknya mengikuti kehendak suami atau istri. Pada saat pensiun mereka dengan senang hati menerima pensiun dan dapat menikmati hari tuanya. Masalah akan timbul jika pasangan hidupnya meninggal duluan. Kejadian tersebut seringkali mengakibatkan mereka menjadi merana dan kadang-kadang juga cepat menyusul, karena kehilangan pasangan merupakan beban yang amat berat sehingga mengalami stress yang berat dan sangat menderita.

Tipe Kepribadian Bermusuhan

Tipe Kepribadian bermusuhan adalah model kepribadian yang tidak disenangi orang, karena perilakunya cenderung sewenang-wenang, galak, kejam, agresif, semauanya sendiri dan sebagainya. Sejak masa sekolah dan remaja biasanya mereka sudah banyak masalah, sering pindah-pindah sekolah, tidak disenangi guru, dijauhi kawan-kawan sehingga sebagai siswa reputasinya negatif. Begitu juga setelah jadi mahasiswa, dikampus biasanya mereka dikenal sebagai tukang bikin ribut, prestasi akademik kurang, namun biasanya pandai pacaran, ganti-ganti pacar, berjiwa petualang (avonturir) dan mudah terjerumus dalam minum-minuman keras, menggunakan narkotik dan sejenisnya. Dalam dunia kerja umumnya mereka tidak stabil, senang pindah-pindah kerja atau pekerjaannya tidak menentu. Kalau menjadi pejabat cenderung foya-foya, menghalalkan segala cara dan semua keinginan harus dituruti, demi memberikan kepuasan diri. Tipe ini juga dikenal tidak mau mengakui kesalahannya dan cenderung mengatakan bahwa orang lah yang berbuat salah, banyak mengeluh dan bertindak agresif atau destruktif, pada hal dalam kenyataan mereka lebih banyak berbuat kesalahan.

Model kepribadian bermusuhan ini juga takut menghadapi masa tua, sehingga mereka berusaha minum segala jenis jamu atau obat agar terlihat tetap awet muda, mereka juga takut kehilangan power, takut pensiun dan paling takut akan kematian. Biasanya pada masa lansia ornag-orang dengan tipe ini terlihat menjadi rakus, tamak, emosional dan tidak puas dengan kehidupannya, seolah-olah ingin hidup seribu tahun lagi.

Tipe Kepribadian Kritik Diri

Tipe kepribadian kritik diri ditandai adanya sifat-sifat yang sering menyesali diri dan mengkritik dirinya sendiri. Misalnya merasa bodoh, pendek, kurus, terlalu tinggi, terlalu gemuk dan sebagainya, yang menggambarkan bahwa mereka tidak puas dengan keberadaan dirinya. Sejak menjadi siswa mereka tidak memiliki ambisi namun kritik terhadap dirinya banyak dilontarkan. Kalau dapat nilai jelek, selalu mengkritik dirinya dengan kata dasar orang bodoh maka malas belajar. Begitu juga setelah dewasa dalam mencari pekerjaan dan bekerja juga tidak berambisi yang penting bekerja namun karier tidak begitu diperhatikan. Keadaan itu biasanya juga mengakibatkan kondisi sosial ekonominya juga menjadi pas-pasan, karena sulit diajak kerja keras.

Dalam kehidupan berkeluarga juga tidak berambisi, syukur kalau dapat jodoh, namun setelah nikah hubungan suami istripun tidak mesra karena selalu mengkritik dirinya dengan segala kekuangannya. Karena kurang akrab berkomunikasi dengan suami atau istri, maka mudah terjadi salah faham, salah pengertian dan mudah tersinggung. Kehidupan dalam keluarga kurang hangat dan kurang membahagiakan dirinya. Dalam menghadapi masa pensiun mereka akan menerima dengan rasa berat, karena merasa lebih tidak berharga lagi dan tidak terpakai. Model kepribadian inilah yang sering terlihat pada lansia yang antara suami dan istri menjadi tidak akur, sehingga masing-masing mengurusi kebutuhan sendiri-sendiri, tidak saling menegur dan saling mengacuhkan walaupun hidup dalam satu atap. (jp)


Oleh : Drs. H. Zainuddin Sri Kuntjoro, MPsi.
Jakarta, 09 April 2002

www.e-psikologi.com

Makin Tua (Idealnya) Makin Menjadi

Tak Sama Dengan Mesin

Pada dasarnya ada perbedaan antara perangkat yang dimiliki manusia dengan mesin. Kalau mesin, semakin sering dipakai atau semakin lama dipakai, akan semakin mengalami keausan atau rusak secara menyeluruh dan ini pasti sifatnya. Tetapi kalau manusia, dimensinya luas. Ada yang bisa dipastikan dan ada yang tidak. Ada yang ausnya menyeluruh dan ada yang tidak.

Ini karena dimensi kapasitas manusia itu tak terbatas. Pak Bakri yang guru SD itu, misalnya, mungkin saja kalah oleh murid-muridnya secara materi atau kedudukan. Tetapi bisa jadi secara spiritualnya tidak kalah, secara emosinya lebih matang, secara imannya lebih kuat, dan seterusnya. Karena Pak Bakri tetap mengasah keunggulannya, maka dia tetap menjadi the best dari dirinya berdasarkan pilihan, keadaan, dan komitmen pengembangannya.

Dalam prakteknya, ada orang yang bisa kita sebut seperti mesin dan ada orang yang tetap menyadari kapasitas dirinya sebagai manusia. Seperti mesin di sini maksudnya menjadi semakin aus kapasitas yang dimilikinya secara keseluruhan seiring dengan bertambah / berkurangnya usia. Sudah fisiknya mulai lemah, intelektualnya juga lemah. Sudah fisiknya makin lemah, kapasitas spiritualnya juga tidak bertambah. Sudah fisiknya makin lemah, kebijaksanaannya juga tak muncul.

Tapi tidak sedikit juga jumlah orang yang semakin tua justru semakin menjadi (becoming). Walaupun ada keausan di beberapa titik pada dimensi fisiknya, tetapi intelektualnya, emosionalnya, spiritualnya, kebahagian dan kesejahteraan hidupnya dan berbagai kapasitas batin lainnya justru makin bagus. "Menjadi tua itu pasti sifatnya. Tapi menjadi matang, itu pilihan", kata sebuah iklan. Karena pilihan, maka orang-orang seperti inilah yang pas kita pilih untuk ditiru.

"Jika seseorang kehilangan kreativitas dan motivasi,

dia akan lemah, walaupun dia orang baik."


Usia dan Keausan

Kalau mau bicara dari sisi yang fatalisnya, kita bisa mengatakan bahwa apapun perjuangan kita untuk bisa tetap menjadi the best dari diri kita itu pada akhirnya tetap akan kalah oleh usia. Bahkan dalam agama ada penjelasan bahwa sebagian dari kita itu ada yang akan dikembalikan seperti pada saat kita kecil, alias pikun, kekanak-kanakan lagi atau tak berdaya lagi.

Dari temuan psikologi pun diungkap beberapa korelasi antara usia dan keausan di sejumlah titik yang bukan saja fisik. Ini bisa kita lihat misalnya dari kesimpulannya Neugarten (1976), seperti dikutip dalam Psychology & Life (Philip G.Zimbardo: 1979), yang antara lain adalah:

  • Semakin bertambah tua seseorang, akan semakin lemah kecepatannya dalam meresponi sesuatu.
  • Orangtua yang tetap aktif ternyata jauh lebih perform ketimbang orangtua yang di rumah saja (tidak aktif)
  • Level pendidikan (dalam arti luas) dapat menjadi prediktor kualitas hidup seseorang ketika usianya tua. Semakin bagus pendidikan yang pernah dijalani, semakin bagus kualitasnya
  • Menurunnya kapasitas intelektual lebih besar dialami oleh kaum laki-laki ketimbang perempuan

Dalam perspektif yang agak lebih spesifik, Erikson (The Journey of Adulthood, Helen Bee: 1996), misalnya mengungkapkan, usia 40 tahun itu masuk dalam kategori yang disebutnya dengan Stage of Generativity Versus Stagnation. Generativity di sini maksudnya: sudah memiliki keluarga, karya nyata, memikirkan masa depan lebih matang, kematangan sikap mental, kekayaan pengalaman, hubungan suami-istri yang semakin bagus, tingkat kepuasan kerja juga makin bagus.

Sementara, dari sisi yang stagnan (mandek / aus) itu misalnya: pertumbuhan fisik, munculnya tanda-tanda keloyoan, uban mulai tumbuh, kekebalan tubuh terhadap penyakit mulai menurun, dan beberapa kapasitas kognitif mulai turun kemampuannya. Untuk beberapa skill yang tidak dilatih, pada usia ini juga mengalami kesulitan memunculkannya, tidak seperti sewaktu masih muda dulu.

Kalau dilihat dari sini, memang pada akhirnya ada korelasi antara usia dan keausan di beberapa kapasitan kita, baik jiwa dan raga. Cuma, sepertinya bukan itu yang menjadi persoalan dan yang perlu kita persoalkan. Kenapa? Ini karena dalam setiap tahap perkembangan usia manusia itu sudah dirancang oleh Tuhan adanya potensi plus dan potensi minus yang bisa dikembangkan. Tentunya dalam berbagai bentuk.

Yang perlu kita antisipasi adalah jangan sampai berkurangnya usia itu hanya memberikan sederetan potensi minus semata pada kita, sementara potensi plusnya tak kita dapatkan. Stagnan-nya kita dapatkan, tetapi generativity-nya tidak kita miliki. Cepat lupanya kita dapatkan, tetapi kebijaksanaannya tidak kita miliki. Sulit belajarnya kita alami, namun kematangan kita di bidang yang selama ini kita geluti tak kita dapatkan.

Ada contoh yang mungkin cocok untuk ditiru oleh sebagian kita. Suatu kali, saya diajak jalan-jalan ke beberapa kota oleh seorang pengusaha muda yang sedang giat-giatnya berekspansi, dari mulai membangun sekolah, membangun pasar, sampai menangani suplai tenaga kerja di perhotelan. Iseng saya bertanya, kenapa sedemikian berani Anda berekspansi.

Ternyata jawabnya simpel. "Kalau boleh minta pada Tuhan, lebih baik saya salah menjalankan usaha pada usia muda seperti sekarang ini, ketimbang nanti usia saya sudah tua. Jika saya rugi, saya masih punya semangat untuk bangkit. Tapi, misalnya saya rugi pada usia tua, 'kan sudah sulit saya bangkit?", katanya begitu.

Pemercepat Keausan

Untuk beberapa kapasitas batin yang sifatnya hasil pengembangan, banyak fakta yang membuktikan bahwa usia bukan faktor yang terpenting peranannya dalam proses pengausan. Kemampuan kita menghafal bisa jadi turun, tetapi kemampuan kita memaknai dan menghayati bisa jadi makin bagus. Kemampuan bergerak kita mungkin turun, tetapi kemampuan untuk berdiam mungkin makin bagus.

Lain soal untuk orang yang pikun atau terserang penyakit. Bahkan pada orang tertentu, serangan penyakit fisik tak menghancurkan kapasitas batinnya secara total. Konon, sebelum terkena stroke, Gus Dur mampu mengingat secara alami (unconsciously memorized) 5000 nomor telepon. Setelah terserang stroke berkali-kali, kapasitas itu tetap masih ada walau berkurang banyak.

Justru yang paling berperan dalam pengausan ternyata bukan usia, melainkan bagaimana kita menggunakan usia kita saat ini. Dari berbagai rujukan, kita bisa mengingatkan diri kita bahwa buruknya penanganan terhadap stress yang kita lakukan selama ini dapat menjadi faktor keausan. Ini misalnya dikatakan, stress dan depresi dapat melemahkan memori atau logika. Bahkan dapat mengganggu produktivitas dan kreativitas.

Stress itu pasti tak bisa kita hindari, lebih-lebih di usia muda yang banyak kegiatan. Yang menjadi persoalan seringkali bukan stress-nya, melainkan penanganannya. Kalau kita lebih sering menempuh penanganan secara negatif, bukan tak mungkin stress dapat berubah menjadi depresi. Tapi kalau penangananya positif, stress dapat berubah menjadi dorongan berprestasi.

Kebiasaan hidup juga berperan penting. Ketika Kick Andy (Metro TV) menampilkan sejumlah orangtua (usianya), namun jiwa dan raganya masih seperti anak muda, mereka memberi kesaksian bahwa kebiasaan bersyukur sangat berperan penting dalam membentuk hidupnya. Ini juga diperkuat oleh pernyataan ilmiah, misalnya dalam www.brainconnection.com, bahwa berpikir positif (menciptakan opini positif, sikap positif, tindakan positif, dan tujuan positif) sangat berperan dalam menyuburkan fungsi otak. Artinya, jika kita sering memiliki kebiasaan berpikir negatif, dengan berbagai turunannya, ini juga dapat berpotensi mempercepat keausan kapasitas jiwa dan raga kita.

Proses pengembangan yang mandek juga sangat berperan. Dari sejumlah bukti yang dapat kita lihat, ada petunjuk di sana. Dengan terus konsisten untuk menggunakan pikiran bernalar dan belajar, akan memperbaiki kesuburan otak. Dengan menjalankan pola hidup yang baik, kerja pada waktunya, tidur pada waktunya dan istirahat pada waktunya, akan memperbaiki kualitas jiwa.

Bahkan ada yang mengatakan, dengan terus melakukan interaksi sosial yang baik, dapat menghindarkan orang dari kepikunan yang parah. Artinya, jika kita kurang memiliki greget untuk mengembangkan diri, dengan cara belajar yang pas untuk kita, akan sangat mungkin otak dan berbagai kapasitas jiwa kita itu melemah seiring dengan berkurangnya usia.

Secara umum, kalau melihat berbagai teori pembelajaran, sepertinya ada perbedaan mengenai cara belajar yang pas untuk orang yang tua dengan orang yang masih muda (anak-anak sampai dewasa). Untuk orang yang tua, cara belajar yang paling bagus adalah dari praktek ke teori atau dari teori yang bisa dipraktekkan atau berdasarkan persolan hidup. Tapi kalau masih muda, cara apapun biasanya bisa ditempuh dengan hasil yang optimal.

"Lebih baik kita kalah, untuk sementara, karena memperjuangkan gagasan. ketimbang kalah, untuk selamanya, karena menyesali masa lalu."

Melatih Kematangan

Agenda hidup yang sangat penting untuk kita jalankan seiring dengan bertambahnya usia adalah meningkatkan kematangan. Kalau melihat literatur psikologi, misalnya milik Gordon Allport (1961), seperti ditulis oleh James W. Vander Zanden (Human Development:1989), kematangan itu hanya bisa diraih dengan proses untuk mematangkan diri secara terus menerus sesuai dengan keadaan kita. Tanda-tanda kematangan itu antara lain:

  • Punya sense of self yang semakin kuat, misalnya bisa mengambil keputusan untuk dirinya tanpa mengandalkan orang lain layaknya anak-anak
  • Dapat menjalin hubungan dengan orang lain secara sehat / hangat, baik secara khusus atau umum
  • Punya kematangan emosi sehingga mood-nya tidak 100% bergantung pada aksi atau reaksi orang lain / keadaan.
  • Bisa menerima dirinya secara sehat dan fair, misalnya sudah mulai tahu kelebihan dan kekurangan sehingga tidak melakukan sesuatu hanya berdasarkan keinginan semata.
  • Bisa membuat pendapat, persepsi, dan bertindak sesuai dengan kenyataan di luar dirinya
  • Bisa menjalani hidup sesuai dengan hukum kehidupan yang berlaku sehingga harmonis hidupnya

Atau dengan kata lain, menjadi lebih matang itu juga berarti memiliki kapasitas yang lebih bagus dalam menyikapi konflik. Hidup ini penuh konflik. Antara kenyataan dan harapan ada konflik. Antara kita dengan orang lain ada konflik. Antara kita dengan diri kita ada konflik. Antara kebenaran kitab Suci dengan kenyataan ada konflik. Membaiknya kapasitas kita dalam menyikapi konflik itu antara lain ditandai dengan munculnya kebijaksanaan. Kebijaksanaan sendiri artinya adalah kemampuan memilih yang paling banyak mengandung kebaikan untuk hal-hal yang sifatnya pilihan.


Menjadi Semakin Utuh

Ajaran keimanan menawarkan pilihan agar hidup kita kian atau supaya tidak split (terpecah). Misalnya, kalau dulu kita hanya berkonsentrasi memikirkan kehidupan jangka pendek (duniawi), maka sekarang kita menambahnya dengan memikirkan kehidupan jangka panjang (akhirat). Kalau dulu kita hanya ingat membangun istana (rumah, kantor, dst), sekarang ini perlu juga ingat kuburan, yang merupakan rumah masa depan. Kalau dulu kita hanya ingat mencari duit saja, sekarang ini perlu juga mengingat kemana saja duit itu kita salurkan. Kalau dulu kita hanya ingat bagaimaan kita hidup, sekarang ini perlu juga mengingat bagaimana nanti kita mati. Kalau dulu semua urusan kita hanya berhenti dari manusia ke manusia, sekarang ini kita imbangi dengan dari manusia ke Pencipta. Semoga bermanfaat.

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 07 Juli 2009
www.e-psikologi.com