Pengertian Orangtua yang bagus
Kalau membaca kehidupan para tokoh atau orang-orang yang secara prestasi itu bagus, mereka punya latar belakang sosial yang berbeda-beda saat masih anak-anak. Ada yang lahir dari keluarga serba cukup, berstatus sosial bagus, dan dibekali pendidikan formal yang bagus. Contoh-contohnya bisa kita temukan sendiri di sekitar kita.
Tapi ada juga yang punya latar belakang kacau, serba kekurangan dan harus menghadapi kenyataan punya orangtua tunggal. Pak Garuda Sugardo, yang kini dipercaya sebagai wakil dirut Telkom, merupakan satu dari sekian ribu anak yang kecilnya harus hidup di panti asuhan sampai akhir remaja. Pak Sugiharto yang kini menteri juga pernah jadi tukang parkir, ikut tinggal di rumah orang lain sebagai tenaga pembantu apa saja sampai lulus SLTA. Begitu juga Mas Tukul Arwana atau Mas Yohanes Suryo. Contoh lainnya bisa kita tambah sebanyak mungkin dari fakta-fakta yang kita temui dalam kehidupan.
Nah, meskipun mereka punya latar belakang sosial yang bermacam-macam, namun sepertinya ada kesamaan yang mungkin bisa kita jadikan pelajaran dalam mendidik anak-anak. Salah satu yang terpenting adalah keberadaan orang dewasa yang berperan sebagai orangtua saat itu, entah itu orangtuanya sendiri, orangtua angkatnya, atau siapa saja yang dianggap orangtua oleh si anak. Mereka, dalam proses perkembangannya, mendapati orang dewasa / orangtua yang bagus.
Seperti apa orangtua yang bagus itu? Pengertian orangtua yang bagus inipun bermacam-macam. Bahkan kerap terjadi perbedaan dalam memahani definisi ini. Secara umum dan secara prinsipil, orangtua yang bagus adalah orangtua yang sanggup memainkan peranan dirinya sebagai orangtua seoptimal mungkin di mata anak-anak. Peranan yang optimal itu ditandai, salah satunya, dengan kemampuannya dalam memunculkan apa yang dalam teori pengetahuan disebut success factors.
Setiap manusia punya sesuatu yang bisa disebut dengan istilah faktor kesuksesan dan faktor ketidaksuksesan. Faktor sukses itu misalnya punya kemauan keras, kejujuran, baik hati sama orang lain (helpful), kejelasan dalam melangkah, kegigihan dalam memperjuangkan tekad, disiplin, percaya-diri, dan seterusnya. Sedangkan faktor ketidaksuksesan itu misalnya: keminderan, kecil hati, penyimpangan moral, kemalasan, kekacauan, keputusasaan, konflik, dan seterusnya.
Karena kata kuncinya di sini adalah optimalisasi peranan, maka siapapun punya kesempatan yang sama untuk menjadi orangtua yang bagus atau menjadi orangtua yang tidak bagus. Belum tentu orangtua yang pendidikannya bagus, ekonominya bagus, status sosialnya bagus bisa menjadi orangtua yang bagus bagi anak-anaknya. Sebaliknya, belum tentu juga seorang janda dengan keadaan ekonomi yang serba kekurangan, pendidikannya SD atau bahkan buta huruf, anaknya empat atau lima yang butuh dikasih makan, status sosialnya rendah, tinggal di rumah yang sangat-sangat sederhana, tidak sanggup menjadi orangtua yang bagus.
Dari fakta-fakta seperti itu bisa kita katakan, orangtua yang status sosialnya bagus, ekonominya bagus, pendidikannya bagus, baru memiliki peluang untuk menjadi orangtua yang bagus. Peluang mereka lebih besar. Sebaliknya, orangtua yang serba kekurangan, banyak masalah, status sosial dan pendidikannya rendah, pun baru memiliki peluang untuk menjadi orangtua yang tidak bagus. Peluang yang saya maksudkan di sini adalah kemungkinan (possibility). Namanya juga kemungkinan, cara kerjanya sama seperti bunyi iklan: maybe yes and maybe no.
Konsep-diri pada anak
Seperti yang sudah pernah kita bahas di sini, konsep-diri di sini adalah bagaimana anak-anak itu mempersepsikan dirinya. Menurut kesimpulan Dr. Maxwell Maltz, tindakan manusia itu erat kaitannya dengan bagaimana manusia itu mendefinisikan dirinya. Persepsi dan definisi-diri ini ada yang positif ada yang negatif. Ada yang mendukung atas munculnya success-factors dan ada yang mendukung munculnya failure-factors. Ada yang merusak dan ada yang membangun. Ada yang lemah dan ada yang kuat.
Menurut Harter (1991), pengaruh konsep-diri yang paling besar itu pada dua hal, yaitu:
§ Afeksi
§ Motivasi
Afeksi di sini mengarah pada kondisi emosi seseorang. Konsep-diri positif akan berpengaruh atas munculnya emosi positif, seperti kebahagian, kepuasaan, dan seterusnya. Sebaliknya, konsep-diri negatif akan berpengaruh pada munculnya emosi negatif, misalnya kesedihan, tekanan, depresi, dan seterusnya. Emosi positif akan memunculkan harga-diri positif sedangkan emosi negatif kerap menjadi sumber harga diri negatif. Harga diri negatif inilah yang kerap menjadi biangnya kerusakan emosi.
Sedangkan motivasi di situ mengarah pada pengertian kualitas motif seseorang untuk mengembangkan potensinya dalam meraih keinginan-keinginannya (prestasi). Konsep-diri positif akan menjadi sumber motif perjuangan yang kuat. Sebaliknya, konsep-diri negatif kerap menjadi sumber munculnya motif yang lemah. Seorang anak yang punya cita-cita bagus, punya harga-diri yang bagus, punya penyerapan yang bagus terhadap nilai-nilai, umumnya memiliki motif yang kuat untuk mengembangkan potensinya atau meraih prestasinya.
Perlu kita sadari bahwa proses terbentuknya konsep-diri pada anak-anak itu agak berbeda dengan orang dewasa. Ini karena orang dewasa sudah melewati sekian proses kehidupan yang memungkinkannya untuk mengaktifkan kapasitas dalam membedakan sesuatu. Hal ini berbeda dengan anak-anak. Konsep-diri pada anak-anak antara lain diperoleh dari pendapat / penilaian dari luar dirinya (orang lain atau lingkungan). Karena itu, teori pendidikannya mengatakan, sebagian besar cara belajar anak-anak itu adalah imitasi, mengkopi dan merefleksikan rangsangan atau stimuli dari luar (pengalaman indrawi).
Dorothy Law Nolte mengatakan: "jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki, jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah, jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan, jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri". Prakteknya mungkin tidak se-teknis yang dikatakan Dorothy ini. Hemat saya, ini adalah acuan agar kita perlu lebih banyak menanamkan "pil" positif kepada anak-anak dan selalu berusaha mengurangi masuknya pil-pil negatif.
Menurut Cooley (1991), omongan dari luar itu berperan penting dalam proses pembentukan konsep diri, baik bagi orang dewasa dan lebih-lebih bagi anak-anak. Omongan orang lain berperan membentuk persepsi seseorang atas dirinya. Penilaian atau kritik orang lain berperan membentuk persepsi seseorang atas dirinya. Keadaan atau situasi berperan membentuk persepsi seseorang atas dirinya.
Konsep-diri yang terbentuk dalam masa kanak-kanak itu umumnya akan "bagaikan mengukir di atas batu". Meminjam istilah dalam teori kompetensi, ia masuk dalam core personality yang sulit untuk diubah dan diukur hidden. Ia menjadi semacam apa yang kita sebut bawaan, watak, sifat, atau culture. Ini beda dengan pengetahuan atau skill. Keduanya masuk dalam surface personality (permukaan). Biasanya in lebih gampang diubah dan bisa diukur atau dilihat
Karena itu, jangan heran bila ada orang yang sudah sekolah kemana-mana bahkan sampai di luar negeri segala, tapi ketika sudah bicara kultur hidup atau prilaku sehari-hari, ia mengakui peranan orangtuanya atau gurunya atau lembaganya waktu masih kecil. Ini bukan saja terjadi pada kehidupan Bang Buyung Nasution atau Prof. Hamka. Pak Karno pun mengakui peranan Cokroaminoto, meski bukan orangtua asli.
Hal-hal yang Bisa Kita Lakukan
Sebagai orangtua, kita kerap mengatakan bahwa anak-anak itu adalah masa depan kita, penerus perjuangan kita atau kader kita. Ini tentu benar. Cuma, yang kerap kita lupakan adalah peranan kita sendiri bagi anak-anak. Kita bukan saja masa depan anak-anak, tapi juga hari ini dan masa lalu bagi mereka.
Artinya, porsi pendidikan (dalam arti yang seluas-luasnya) yang mestinya kita berikan kepada anak-anak itu tidak bisa ditinggalkan, diwakilkan atau diserahkan kepada siapapun, termasuk kepada sekolah yang paling mahal sekali pun. Ini mengingat betapa pentingnya peranan kita bagi mereka. Pendidikan sekolah punya porsi sendiri dan pendidikan kita juga demikian. Kata Gibran, anak-anakmu memang bukan milikmu, tapi mereka adalah tanggung jawabmu.
Kalau mau jujur, sebetulnya masih banyak yang dapat kita lakukan untuk menanamkan konsep-diri positif itu. Ini terlepas apakah kita sebagai orangtua yang super sibuk, yang sibuk atau biasa-biasa saja sibuknya. Sebagian dari sekian hal yang masih bisa kita lakukan itu antara lain di bawah ini:
Pertama, memberikan rangsangan yang membangkitkan. Rangsangan ini bentuknya banyak dan bisa kita pilih sesuai keadaan, keadaan dalam arti kebutuhan, kepentingan, kemanfaatan atau isi kantong. Ini misalnya saja: membangkitkan jiwanya, membesarkan hatinya, memperkuat imannya atau mentalnya, memberikan bacaan yang meng-inspirasi, mengarahkan dia untuk mengidolakan tokoh-tokoh yang bermutu, menyediakan fasilitas pendidikan di rumah, mengajak mereka untuk mengunjungi event-event yang bermutu, mendiskusikan PR-nya, dan lain-lain. Yang tak kalah pentingnya adalah bermain dengan anak dimana kita bisa memasukkan pil-pil positif saat hatinya senang.
Perlu kita sadari bahwa meskipun bentuk-bentuk rangsangan itu remeh menurut kita, tetapi tidak bagi mereka. Kalau melihat ilustrasi milik Profesor Marian Diamond tentang otak yang dirangsang dan otak yang tidak distimulasi, ternyata bedanya terletak pada jumlah koneksi. Otak yang distimulasi punya koneksi yang cukup banyak. Sementara, otak yang jarang distimulasi, koneksinya jarang dan putus-putus. Koneksi ini tentu sangat menentukan ketika dewasa. Koneksi yang bagus akan membuat orang lebih kreatif, lebih kritis, lebih responsif, lebih cepat "nyambung" dan seterusnya.
Kedua, memberikan pemahaman yang benar terhadap persoalan hidup (realitas). Misalnya saja pemahaman tentang pentingnya tolong menolong, pentingnya melawan keminderan dan kemalasan, pentingnya menyadari potensi dan kelebihan, pentingnya keikhlasan, kejujuran, kegigihan, melawan kesulitan, dan lain-lain.
Harus kita akui memang, hampir semua orangtua sudah melakukan ini, tetapi bedanya adalah: ada yang sudah diucapkannya dengan pengungkapan yang mendidik tetapi ada yang hanya didiamkan; ada yang memang didasari kesadaran untuk mendidik tetapi ada yang hanya karena reaksi / emosi sesaat. Sebut saja misalnya kita mengatakan si anak itu pemalas dengan nada marah atau kesal pada saat tidak merapikan tempat tidur. Ini terkadang terkesan lebih merupakan ungkapan kekesalan kita, bukan kesadaran kita untuk mendidik.
Biasanya ini terjadi ketika kita sebagai orang dewasa terlalu memikirkan urusan kita pribadi dengan berbagai macam pernak-perniknya. Akibatnya, mau tidak mau, muncul efek kurang peduli atau muncul efek tidak mau susah ikut memikirkan persoalan anak. Akibatnya, mungkin ada anak-anak yang berinisiatif mengabaikan tugas-tugas rumah dari sekolah karena di rumahnya tidak ada yang mengontrol, tidak ada yang menemai atau tidak ada mendorong atau tidak ada yang peduli.
Ketiga, membantu anak dalam mengungkap kelebihan-kelebihannya. Kita semua sudah yakin bahwa pada setiap bayi yang lahir ke dunia ini memiliki kelebihan-kelebihan, di samping juga kekurangan-kekurangan. Bentuknya mungkin bisa bakat umum atau khusus, kecerdasan akademis, kemampuan sosial, leadership, seni, kecenderungan atau kesenangan (hobi) terhadap bidang-bidang tertentu, dan seterusnya dan seterusnya.
Meski sudah sedemikian rupa keyakinan itu ada, namun dalam prakteknya kita kerap lupa. Terkadang kita kurang adil dalam melihat sosok si anak. Letak ketidakadilan itu, misalnya, ketika yang kita temukan atau yang berusaha untuk kita temukan dari si anak itu adalah yang jelek-jeleknya saja atau yang minus-minusnya saja. Fatalnya lagi, terkadang itu kita jadikan semacam label untuk anak. Pelabelan (labelling) inilah yang kurang mendukung keinginan kita untuk membangun definisi-diri positif. Sebuah penelitian di Amerika mengungkap, setiap anak, sejak usia dini, menerima enam komentar negatif untuk setiap satu dorongan yang positif (Jack Canfield: 1982)
Bagaimana dengan penyimpangannya, kenakalannya, kekurangannya? Tentu saja tetap kita awasi namun tetap diupayakan asas keadilan tadi. Sebab, kalau kita hanya memuji terus namun mengabaikan teguran / koreksi yang faktanya itu dibutuhkan, ini juga bisa membikin anak salah persepsi tentang dirinya. Salah persepsi akan sama bahayanya dengan persepsi yang negatif.
Terakhir, di atas dari tiga hal di atas, adalah keteladanan. Ini tentu kita sudah tahu semua. Yang selalu dibutuhkan adalah kesadaran baru dan kesadaran baru. Sebab, yang lebih kuat mendorong kita untuk melakukan sesuatu itu terkadang bukan pengetahuan, melainkan kesadaran baru. Semoga bermanfaat.
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 09 Mei 2007
www.e-psikologi.com