bobo' ah ===>>>

Photobucket

Selasa, 08 Maret 2011

Depresi Pada Penderita Stroke

Stroke itu timbul akibat tersumbatnya peredaran darah pada otak dengan gejala spontan. Stroke merupakan ancaman sumber cacat setelah usia 45 tahun. Sebagai akibatnya, banyak penderita yang menjadi invalid alias tidak mampu lagi mandiri.

Seperti diketahui, otak itu membutuhkan banyak oksigen yang kira-kira sekitar 18% dari stok melalui peredaran darah. Tanpa oksigen, fungsi peredaran darah jadi tidak berguna. Karena tidak mempunyai cadangan, otak hanya mengandalkan oksigen pada peredaran darah tiap detik. Jika suplai oksigen terhenti sampai 10 detik, misalnya, akan terjadi radang fungsi otak. Jika terjadi lebih lama lagi bisa menimbulkan pusing, pingsan, sampai lumpuh.

Stroke terkadang bisa terjadi lagi pada penderita dengan kondisi yang lebih parah. Ini umumnya terjadi pada penderita yang kurang kontrol. Karena cepat puas, misalnya, merasa tidak perlu lagi memeriksakan diri. Jika stroke berulang, berarti pendarahan di otak jadi lebih luas.

Cukup banyak gejala stroke, tergantung di mana lokasi pecahnya pembuluh darah pada otak. Antara lain gangguan : *) Gerak: yang ringan, misalkan, tidak bisa mengambil gelas, menggosok gigi, dan menyelipkan kancing, dengan sempurna. Yang berat disebut juga lumpuh total, yang bisa menimpa tiap organ gerak, termasuk bibir, wajah, dan mata. *) Rasa : pada sebelah anggota badan, yang jika dibarengi lumpuh akan dirasakan pada sisi ini. Tingkat rasa dari yang ringan (semutan) sampai yang berat (baal). Kalau pun bisa berdiri, namun jika menginjak lantai terkadang seperti berada di awang-awang. *) Sadar: dari ringan (mudah ngantuk) sampai berat (seperti koma). Terkadang pihak keluarga cepat memvonis penderita akan segera meninggal sehingga mereka tidak/kurang semangat lagi merawat atau mengatasinya. Apalagi jika sudah manula sampai mereka seperti putus asa - meskipun tidak diucapkan dengan terus-terang. *) Verbal: baik karena organ bicara yang rusak maupun daya ingat yang turun. Misalkan dalam bentuk tidak bisa : mengeluarkan kata dan menangkap arti. Ini benar-benar akan menimbulkan depresi bagi penderita dengan latar belakang karir, seperti hakim, guru, dan orator, singkatnya yang mengandalkan mulut sebagai sarana karir.

Stroke kini tambah populer saja, sejalan sejalan dengan jumlah penderitanya yang tambah banyak, yang antara lain akibat mutu stres yang tambah tinggi dan dampak sarana hidup yang tambah moderen. Stroke tidak saja menyerang orang yang sering atau sedang sakit, juga orang yang sedang dalam kondisi puncak. Sudah berapa banyak orang yang tiba-tiba badannya merasa lemas, matanya buram, dan bicaranya pelo, yang akhirnya lumpuh. Padahal sebelumnya tidak merasakan gejala itu sedikit pun. Malah antara lain termasuk yang rajin sport. Dari aspek "sumber daya manusia" pun sudah dianggap bencana pembangunan. Karena potensi yang besar pada mereka jadi terhenti atau terbengkalai.

Bisa dibayangkan jika stroke menyerang teknokrat yang memimpin, sekaligus sebagai arsitek dan manajer, perusahaan makrodengan melibatkan ribuan karyawan? Tentu saja akan menimbulkan krisis manajemen. Terlepas, apakah stroke pada penderita akan "permanen atau sementara", yang jelas telah mempengaruhi iklim perusahaannya. Jadi, dampak stroke bukan saja pada penderitanya, namun juga pada mereka yang mengandalkan atau berkepentingan dengan penderita.

Depresi Pada Penderita Stroke

Umumnya stroke berlanjut dengan depresi. Artinya, para penderita sadar, kondisinya sudah lain untuk melakukan ini dan itu secara rutin, seperti makan harus disuapi, jalan jadi lambat, dan mandi harus dibantu. Karena faktor mental, mereka jadi depresi : sering menangis dan suka melamun. Ini tambah terasa bagi mereka yang mempunyai posisi cukup tinggi dalam karir atau sedang naik daun sebagai idola publik. Tiap kerabat yang datang besuk disambutnya dengan menangis. Penderita seperti bertanya, mengapa hal ini sampai terjadi. Malah ada yang ketus bilang mau segera mati saja, karena sudah tidak tahan lagi dengan keadaan tersebut.

Situasi ini memang berat serta memakan waktu lama. Usaha merehabilitasi sampai menyembuhkannya tidak kalah susah dengan "terapi medis". Seperti di Belanda-Australia, misalnya, psikolog sudah dilibatkan langsung bersama para dokter. Melewatkan masalah depresi, hanya akan membuat penderita bertambah parah serta bertambah susah pula untuk merehablitasinya, apalagi menyembuhkannya. Soalnya depresi sangat erat dengan tenaga. Artinya, orang depresi akan membuat banyak tenaga / energi psikis terkuras.

Jadi, sebagai anggota keluarga janganlah hanya menasihati, namun mereka lebih membutuhkan tindak lanjut berupa "terapi psikis" secara bertahap, bervariasi, dan berjenjang, sesuai dengan kondisi, latar belakang, dan emosinya. Antusias yang optimal sangat diharapkan dari mereka yang mempunyai ikatan persaudaraan atau pun ikatan emosional dengannya.

Yang penting, dalam usaha tesebut adalah bahwa penderita melakukan langkah-langkah seperti:

1. Kesempatan untuk mengekspresikan perasaannya untukditanggapi dengan wajar dan serius.

2. Pengobatan yang bisa memberikannya motivasi dalam membangun kembali sikap optimis mereka yang goyah. Kita perlu melenyapkan kesan, bahwa mereka tidak lagi berguna bagi masyarakat dan keluarga.

3. Pergaulan, dalam rangka membangun kembali sosialnya. Misalkan berdialog dengan teman-temannya, agar timbul sikap sependeritaan, sekaligus timbul kesan bahwa bukan dia saja yang terkena stroke dan yang mengalami ketidakberdayaan.

4. Kesempatan berkomunikasi dengan pihak yang terkait serta bisa memonitor perkembangannya, seperti dokter dan psikolog.

5. Ketenangan hati, berupa jaminan bahwa semua keluhannya akan dirahasiakan, sehingga ia tidak perlu merasa cemas dan malu

Dukungan Psikologis Dari Keluarga

Banyak penderita yang mengalami kesulitan dalam berbicara ketika mereka recover from stroke. Peranan keluarga jelas sangat diharapkan selain semangat dari penderita itu sendiri untuk proses merehabilitasi fungsi bicaranya dan senso-motoriknya. Oleh karena proses ini memerlukan waktu relatif lama, maka perlu pengertian dan kesabaran yang dalam dari semua pihak. Yang jelas, setiap saat penderita harus diajak bicara dan berinteraksi. Ini diawali dengan sering menanyakan keinginan yang menimbulkan jawaban "singkat". Secara psikologis, motivasi yang sangat kuat pada penderita untuk mengekspresikan sesuatu, akan mendorong kemampuannya berbicara dan bergerak/bertindak. Pada umumnya, penderita cenderung lebih bersemangat menjalani proses terapi, saat kondisi mereka sedang fit.

Proses ini cenderung lebih efektif, jika secara langsung dilakukan anggota keluarganya, seperti anak-cucu. Sebab bagaimana pun, bobot kualitas komunikasi dan interaksi semacam itu susah digantikan 100% oleh pihak lain. Apalagi jika keluarga berkeinginan yang kuat untuk merehabilitasi fungsi bicara dan senso-motoriknya. Kata pakar orthopedi, dengan sikap tersebut, rehabilitasi sudah terjamin dengan prosentase besar.

Banyak faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya proses rehabilitasi. Di antaranya : frekwensi interaksi dan terapi, tekanan yang dialami (emotional pressure / situational pressure); dan, manifestasi dari recovery-nya pun beragam ekspresi dan modelnya. Jika tampak penambahan jumlah verbal yang bisa diucapkannya atau pun gerakan yang mampu dihasilkannya, kita perlu menampakkan ekspresi gembira sebagai sebuah penguat (reinforcement); sebab, ini akan tambah meyakinkannya bahwa proses terapi, dilakukan dengan tulus hati oleh keluarganya. Masalahnya, jika proses terapi dilakukan secara keras, dengan sikap dan ekspresi negatif dari lingkungan keluarga yang seharusnya mampu bersikap sabar dan penuh pengertian, maka sudah dapat diprediksikan, bahwa penderita akan mudah patah semangat dan jatuh dalam depresi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar