bobo' ah ===>>>

Photobucket

Selasa, 08 Maret 2011

Makin Tua (Idealnya) Makin Menjadi

Tak Sama Dengan Mesin

Pada dasarnya ada perbedaan antara perangkat yang dimiliki manusia dengan mesin. Kalau mesin, semakin sering dipakai atau semakin lama dipakai, akan semakin mengalami keausan atau rusak secara menyeluruh dan ini pasti sifatnya. Tetapi kalau manusia, dimensinya luas. Ada yang bisa dipastikan dan ada yang tidak. Ada yang ausnya menyeluruh dan ada yang tidak.

Ini karena dimensi kapasitas manusia itu tak terbatas. Pak Bakri yang guru SD itu, misalnya, mungkin saja kalah oleh murid-muridnya secara materi atau kedudukan. Tetapi bisa jadi secara spiritualnya tidak kalah, secara emosinya lebih matang, secara imannya lebih kuat, dan seterusnya. Karena Pak Bakri tetap mengasah keunggulannya, maka dia tetap menjadi the best dari dirinya berdasarkan pilihan, keadaan, dan komitmen pengembangannya.

Dalam prakteknya, ada orang yang bisa kita sebut seperti mesin dan ada orang yang tetap menyadari kapasitas dirinya sebagai manusia. Seperti mesin di sini maksudnya menjadi semakin aus kapasitas yang dimilikinya secara keseluruhan seiring dengan bertambah / berkurangnya usia. Sudah fisiknya mulai lemah, intelektualnya juga lemah. Sudah fisiknya makin lemah, kapasitas spiritualnya juga tidak bertambah. Sudah fisiknya makin lemah, kebijaksanaannya juga tak muncul.

Tapi tidak sedikit juga jumlah orang yang semakin tua justru semakin menjadi (becoming). Walaupun ada keausan di beberapa titik pada dimensi fisiknya, tetapi intelektualnya, emosionalnya, spiritualnya, kebahagian dan kesejahteraan hidupnya dan berbagai kapasitas batin lainnya justru makin bagus. "Menjadi tua itu pasti sifatnya. Tapi menjadi matang, itu pilihan", kata sebuah iklan. Karena pilihan, maka orang-orang seperti inilah yang pas kita pilih untuk ditiru.

"Jika seseorang kehilangan kreativitas dan motivasi,

dia akan lemah, walaupun dia orang baik."


Usia dan Keausan

Kalau mau bicara dari sisi yang fatalisnya, kita bisa mengatakan bahwa apapun perjuangan kita untuk bisa tetap menjadi the best dari diri kita itu pada akhirnya tetap akan kalah oleh usia. Bahkan dalam agama ada penjelasan bahwa sebagian dari kita itu ada yang akan dikembalikan seperti pada saat kita kecil, alias pikun, kekanak-kanakan lagi atau tak berdaya lagi.

Dari temuan psikologi pun diungkap beberapa korelasi antara usia dan keausan di sejumlah titik yang bukan saja fisik. Ini bisa kita lihat misalnya dari kesimpulannya Neugarten (1976), seperti dikutip dalam Psychology & Life (Philip G.Zimbardo: 1979), yang antara lain adalah:

  • Semakin bertambah tua seseorang, akan semakin lemah kecepatannya dalam meresponi sesuatu.
  • Orangtua yang tetap aktif ternyata jauh lebih perform ketimbang orangtua yang di rumah saja (tidak aktif)
  • Level pendidikan (dalam arti luas) dapat menjadi prediktor kualitas hidup seseorang ketika usianya tua. Semakin bagus pendidikan yang pernah dijalani, semakin bagus kualitasnya
  • Menurunnya kapasitas intelektual lebih besar dialami oleh kaum laki-laki ketimbang perempuan

Dalam perspektif yang agak lebih spesifik, Erikson (The Journey of Adulthood, Helen Bee: 1996), misalnya mengungkapkan, usia 40 tahun itu masuk dalam kategori yang disebutnya dengan Stage of Generativity Versus Stagnation. Generativity di sini maksudnya: sudah memiliki keluarga, karya nyata, memikirkan masa depan lebih matang, kematangan sikap mental, kekayaan pengalaman, hubungan suami-istri yang semakin bagus, tingkat kepuasan kerja juga makin bagus.

Sementara, dari sisi yang stagnan (mandek / aus) itu misalnya: pertumbuhan fisik, munculnya tanda-tanda keloyoan, uban mulai tumbuh, kekebalan tubuh terhadap penyakit mulai menurun, dan beberapa kapasitas kognitif mulai turun kemampuannya. Untuk beberapa skill yang tidak dilatih, pada usia ini juga mengalami kesulitan memunculkannya, tidak seperti sewaktu masih muda dulu.

Kalau dilihat dari sini, memang pada akhirnya ada korelasi antara usia dan keausan di beberapa kapasitan kita, baik jiwa dan raga. Cuma, sepertinya bukan itu yang menjadi persoalan dan yang perlu kita persoalkan. Kenapa? Ini karena dalam setiap tahap perkembangan usia manusia itu sudah dirancang oleh Tuhan adanya potensi plus dan potensi minus yang bisa dikembangkan. Tentunya dalam berbagai bentuk.

Yang perlu kita antisipasi adalah jangan sampai berkurangnya usia itu hanya memberikan sederetan potensi minus semata pada kita, sementara potensi plusnya tak kita dapatkan. Stagnan-nya kita dapatkan, tetapi generativity-nya tidak kita miliki. Cepat lupanya kita dapatkan, tetapi kebijaksanaannya tidak kita miliki. Sulit belajarnya kita alami, namun kematangan kita di bidang yang selama ini kita geluti tak kita dapatkan.

Ada contoh yang mungkin cocok untuk ditiru oleh sebagian kita. Suatu kali, saya diajak jalan-jalan ke beberapa kota oleh seorang pengusaha muda yang sedang giat-giatnya berekspansi, dari mulai membangun sekolah, membangun pasar, sampai menangani suplai tenaga kerja di perhotelan. Iseng saya bertanya, kenapa sedemikian berani Anda berekspansi.

Ternyata jawabnya simpel. "Kalau boleh minta pada Tuhan, lebih baik saya salah menjalankan usaha pada usia muda seperti sekarang ini, ketimbang nanti usia saya sudah tua. Jika saya rugi, saya masih punya semangat untuk bangkit. Tapi, misalnya saya rugi pada usia tua, 'kan sudah sulit saya bangkit?", katanya begitu.

Pemercepat Keausan

Untuk beberapa kapasitas batin yang sifatnya hasil pengembangan, banyak fakta yang membuktikan bahwa usia bukan faktor yang terpenting peranannya dalam proses pengausan. Kemampuan kita menghafal bisa jadi turun, tetapi kemampuan kita memaknai dan menghayati bisa jadi makin bagus. Kemampuan bergerak kita mungkin turun, tetapi kemampuan untuk berdiam mungkin makin bagus.

Lain soal untuk orang yang pikun atau terserang penyakit. Bahkan pada orang tertentu, serangan penyakit fisik tak menghancurkan kapasitas batinnya secara total. Konon, sebelum terkena stroke, Gus Dur mampu mengingat secara alami (unconsciously memorized) 5000 nomor telepon. Setelah terserang stroke berkali-kali, kapasitas itu tetap masih ada walau berkurang banyak.

Justru yang paling berperan dalam pengausan ternyata bukan usia, melainkan bagaimana kita menggunakan usia kita saat ini. Dari berbagai rujukan, kita bisa mengingatkan diri kita bahwa buruknya penanganan terhadap stress yang kita lakukan selama ini dapat menjadi faktor keausan. Ini misalnya dikatakan, stress dan depresi dapat melemahkan memori atau logika. Bahkan dapat mengganggu produktivitas dan kreativitas.

Stress itu pasti tak bisa kita hindari, lebih-lebih di usia muda yang banyak kegiatan. Yang menjadi persoalan seringkali bukan stress-nya, melainkan penanganannya. Kalau kita lebih sering menempuh penanganan secara negatif, bukan tak mungkin stress dapat berubah menjadi depresi. Tapi kalau penangananya positif, stress dapat berubah menjadi dorongan berprestasi.

Kebiasaan hidup juga berperan penting. Ketika Kick Andy (Metro TV) menampilkan sejumlah orangtua (usianya), namun jiwa dan raganya masih seperti anak muda, mereka memberi kesaksian bahwa kebiasaan bersyukur sangat berperan penting dalam membentuk hidupnya. Ini juga diperkuat oleh pernyataan ilmiah, misalnya dalam www.brainconnection.com, bahwa berpikir positif (menciptakan opini positif, sikap positif, tindakan positif, dan tujuan positif) sangat berperan dalam menyuburkan fungsi otak. Artinya, jika kita sering memiliki kebiasaan berpikir negatif, dengan berbagai turunannya, ini juga dapat berpotensi mempercepat keausan kapasitas jiwa dan raga kita.

Proses pengembangan yang mandek juga sangat berperan. Dari sejumlah bukti yang dapat kita lihat, ada petunjuk di sana. Dengan terus konsisten untuk menggunakan pikiran bernalar dan belajar, akan memperbaiki kesuburan otak. Dengan menjalankan pola hidup yang baik, kerja pada waktunya, tidur pada waktunya dan istirahat pada waktunya, akan memperbaiki kualitas jiwa.

Bahkan ada yang mengatakan, dengan terus melakukan interaksi sosial yang baik, dapat menghindarkan orang dari kepikunan yang parah. Artinya, jika kita kurang memiliki greget untuk mengembangkan diri, dengan cara belajar yang pas untuk kita, akan sangat mungkin otak dan berbagai kapasitas jiwa kita itu melemah seiring dengan berkurangnya usia.

Secara umum, kalau melihat berbagai teori pembelajaran, sepertinya ada perbedaan mengenai cara belajar yang pas untuk orang yang tua dengan orang yang masih muda (anak-anak sampai dewasa). Untuk orang yang tua, cara belajar yang paling bagus adalah dari praktek ke teori atau dari teori yang bisa dipraktekkan atau berdasarkan persolan hidup. Tapi kalau masih muda, cara apapun biasanya bisa ditempuh dengan hasil yang optimal.

"Lebih baik kita kalah, untuk sementara, karena memperjuangkan gagasan. ketimbang kalah, untuk selamanya, karena menyesali masa lalu."

Melatih Kematangan

Agenda hidup yang sangat penting untuk kita jalankan seiring dengan bertambahnya usia adalah meningkatkan kematangan. Kalau melihat literatur psikologi, misalnya milik Gordon Allport (1961), seperti ditulis oleh James W. Vander Zanden (Human Development:1989), kematangan itu hanya bisa diraih dengan proses untuk mematangkan diri secara terus menerus sesuai dengan keadaan kita. Tanda-tanda kematangan itu antara lain:

  • Punya sense of self yang semakin kuat, misalnya bisa mengambil keputusan untuk dirinya tanpa mengandalkan orang lain layaknya anak-anak
  • Dapat menjalin hubungan dengan orang lain secara sehat / hangat, baik secara khusus atau umum
  • Punya kematangan emosi sehingga mood-nya tidak 100% bergantung pada aksi atau reaksi orang lain / keadaan.
  • Bisa menerima dirinya secara sehat dan fair, misalnya sudah mulai tahu kelebihan dan kekurangan sehingga tidak melakukan sesuatu hanya berdasarkan keinginan semata.
  • Bisa membuat pendapat, persepsi, dan bertindak sesuai dengan kenyataan di luar dirinya
  • Bisa menjalani hidup sesuai dengan hukum kehidupan yang berlaku sehingga harmonis hidupnya

Atau dengan kata lain, menjadi lebih matang itu juga berarti memiliki kapasitas yang lebih bagus dalam menyikapi konflik. Hidup ini penuh konflik. Antara kenyataan dan harapan ada konflik. Antara kita dengan orang lain ada konflik. Antara kita dengan diri kita ada konflik. Antara kebenaran kitab Suci dengan kenyataan ada konflik. Membaiknya kapasitas kita dalam menyikapi konflik itu antara lain ditandai dengan munculnya kebijaksanaan. Kebijaksanaan sendiri artinya adalah kemampuan memilih yang paling banyak mengandung kebaikan untuk hal-hal yang sifatnya pilihan.


Menjadi Semakin Utuh

Ajaran keimanan menawarkan pilihan agar hidup kita kian atau supaya tidak split (terpecah). Misalnya, kalau dulu kita hanya berkonsentrasi memikirkan kehidupan jangka pendek (duniawi), maka sekarang kita menambahnya dengan memikirkan kehidupan jangka panjang (akhirat). Kalau dulu kita hanya ingat membangun istana (rumah, kantor, dst), sekarang ini perlu juga ingat kuburan, yang merupakan rumah masa depan. Kalau dulu kita hanya ingat mencari duit saja, sekarang ini perlu juga mengingat kemana saja duit itu kita salurkan. Kalau dulu kita hanya ingat bagaimaan kita hidup, sekarang ini perlu juga mengingat bagaimana nanti kita mati. Kalau dulu semua urusan kita hanya berhenti dari manusia ke manusia, sekarang ini kita imbangi dengan dari manusia ke Pencipta. Semoga bermanfaat.

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 07 Juli 2009
www.e-psikologi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar